JAKARTA, lintasbarometer.com
Pimpinan KPK Jilid V periode 2019-2023 resmi dilantik. Beberapa kasus besar menjadi pekerjaan rumah (PR) dan menanti untuk diselesaikan oleh Komjen Firli Bahuri, Alexander Marwata, Lili Pintauli Siregar, Nurul Ghufron, dan Nawawi Pamolango.
Di antara kasus-kasus besar itu, ada juga kasus yang penyidikannya sudah melewati batas waktu dua tahun. Seperti kasus korupsi pengadaan Quay Container Crane (QCC) di Pelindo II yang menjerat eks dirutnya, RJ Lino.
Dalam undang-undang KPK Nomor 19 Tahun 2019 disebutkan bagi kasus yang penyidikannya sudah lebih dari dua tahun, terbuka untuk opsi SP3. Terkait itu, mantan pimpinan KPK berharap pimpinan baru tak mudah menetapkan SP3 dan bisa melanjutkan penyidikan hingga selesai.
“Mengenai kasus yang belum tuntas, kami berharap kepemimpinan pak Alex yang akan datang melanjutkan (kasus) dan tidak di SP3 tentunya. Kami harap lanjut ya. Kasus besar seperti e-KTP belum selesai, tetapi Dirdik dan Dirtut masih bekerja untuk yang lain. BLBI juga belum selesai,” kata eks Wakil Ketua KPK Laode M Syarif beberapa waktu lalu.
Berikut kumparan rangkum beberapa kasus besar yang menanti Pimpinan KPK Jilid V:
e-KTP
e-KTP mungkin bisa disebut sebagai ‘megakorupsi’. Sebab, KPK sudah menjerat 12 orang dari berbagai kalangan di kasus ini. Mulai dari swasta, pejabat Kementerian Dalam Negeri, hingga anggota DPR.
Nama Setya Novanto yang kala itu Ketua DPR dan Ketua Umum Golkar pun termasuk dalam daftar yang dijerat KPK. Bahkan dalam pengembangannya, KPK menemukan ada kasus menghalangi penyidikan yang dilakukan dokter dan juga pengacara.
Sebagian besar dari para tersangka sudah divonis bersalah oleh hakim. Bahkan hakim menguatkan ada kerugian negara Rp 2,3 triliun akibat kasus itu.
Kasus ini mulai masuk tahap penyidikan sejak April 2014. Ketika itu dua tersangka awalnya ialah pejabat Kemendagri, Irman dan Sugiharto. Keduanya baru mulai disidangkan pada Maret 2017 atau hampir 3 tahun setelah masuk tahap penyidikan
Terkahir, sebagai tersangka ke-8 yang divonis dalam perkara ini, Markus Nari, divonis 6 tahun penjara serta bayar uang pengganti USD 400 ribu. Namun, KPK banding sebab meyakini Markus Nari menerima USD 900 ribu sehingga KPK membidik uang tersebut.
RJ Lino
Dalam kasus ini, KPK butuh waktu lama lebih dari empat tahun dalam mengusutnya. RJ Lino, telah ditetapkan sebagai tersangka oleh KPK semenjak 2015 namun hingga saat ini, penyidikan belum juga usai.
RJ Lino sendiri ditetapkan sebagai tersangka dugaan korupsi pengadaan tiga unit QCC pada 2010 di Pelindo II. Ia diduga menyalahgunakan wewenangnya saat jadi dirut, dengan menunjuk langsung perusahaan Cina, Wuxi Huangdong Heavy Machinery sebagai pelaksana proyek pengadaan itu.
Adapun, proyek pengadaan itu bernilai sekitar Rp 100 miliar untuk pengadaan QCC di tiga lokasi yakni Palembang, Pontianak, dan Lampung. RJ Lino belum ditahan meski telah berstatus tersangka. KPK menyebut belum selesainya kasus ini karena terkendala perhitungan kerugian negara.
BLBI
Penyidikan di perkara Bantuan Likuiditas Bank Indonesia (BLBI) juga sampai saat ini belum selesai. KPK menemui kendala untuk mengusut Pemilik Bank Dagang Indonesia (BDNI), Sjamsul Nursalim dan istrinya, Itjih. Keduanya merupakan tersangka penerbitan Surat Keterangan Lunas (SKL) BLBI.
Kesulitannya, keduanya kini berada di luar negeri. KPK kesulitan untuk memeriksa keduanya sebab tak kooperatif memenuhi panggilan. Padahal mereka akan diperiksa untuk tersangka maupun saksi untuk Syafruddin Arsyad Temenggung yang merupakan eks Kepala Badan Penyehatan Perbankan Nasional (BPPN).
Sjamsul dan Itjih sendiri diduga terlibat dalam kasus korupsi BLBI yang merugikan negara hingga Rp 4,58 triliun. Kerugian itu lantaran piutang yang dijaminkan Sjamsul untuk membayar sisa BLBI berupa aset petambak kepada Pemerintah, merupakan kredit macet.
Keruwetan bertambah, usai MA memvonis lepas Syafruddin yang sudah jadi terdakwa. Padahal dalam putusan pengadilan Tipikor Jakarta dan Pengadilan Tinggi DKI Jakarta, Syafruddin dinilai bersalah. Atas vonis lepas itu, KPK akan ajukan Peninjauan Kembali (PK).
Mafia Perkara MA
Baru-baru ini, KPK menjerat sekretaris Mahkamah Agung (MA) Nurhadi sebagai tersangka. Ia terbukti melakukan korupsi dengan mengatur sejumlah perkara di MA. Nilai korupsinya mencapai Rp 33,1 miliar. Selain itu dia juga dijerat gratifikasi yang diterima kurun waktu Oktober 2014 hingga Agustus 2016 sebesar Rp 12,9 miliar.
Korupsi itu diduga diterima melalui keponakannya, Rezky Herbiyanto, dari Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT), Hiendra Soenjoto. Suap itu diduga diterima Nurhadi karena menangani sejumlah perkara.
Pertama memenangkan Hiendra dalam perkara perdata kepemilikan saham PT MIT. Dia mendapatkan 9 lembar cek, namun di perkara ini Hiendra kalah dan cek itu diminta kembali.
Kedua, Nurhadi diduga memenangkan gugatan kepemilikan saham PT MIT oleh Azhar Umar pada 2015. Suap atas perkara ini diduga dikirimkan sebanyak 45 transaksi agar tak mencurigakan.
Bisakah pimpinan baru KPK menuntaskan sederet kasus besar tersebut? Mari tunggu aksi nyata mereka. (*)
sumber : kumparan