KPK Panggil 6 Saksi Swasta Terkait Korupsi Jalan Lingkar Barat Duri Bengkalis

Bengkalis1308 Dilihat
banner 468x60

BENGKALIS, lintasbarometer.com

banner 336x280

Penyidik Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) memanggil 6 orang saksi terkait dugaan korupsi proyek pembangunan Jalan Lingkar Barat Duri, Kabupaten Bengkalis, Provinsi Riau, tahun anggaran 2013-2015, Kamis (21/10/2021).

“Hari ada 6 orang yang dipanggil untuk memberikan keterangan sebagai saksi TPK proyek Jalan Lingkar Barat Duri (multiyears) tahun anggaran 2013 sampai 2015,” ujar Plt Juru Bicara KPK, Ali Fikri.

Keenam saksi itu adalah Jeffri Revli Sela, Operation Manager PT Wira Penta Kencana, Eryc Winarda, Direktur CV Riau Ananda, dan Edy Mulyono, Direktur PT Kawasan Dinamika Harmonitama.

Kemudian saksi Efrinaldi, pemilik izin galian C No 545/ D.P.E/ IUP/ 2011/ 52, Agus Lita Tokiman, Direktur PT Total Kinerja Mandiri atau mantan Direktur PT Kampar Utama Konstruksi, dan terakhir saksi Dwi Prokoso Mudo, Quantity Surveyor PT Wijaya Karya (Persero).

Ali Fikri mengatakan, para saksi ini memberikan keterangan untuk tersangka M Nasir, mantan Kepala Dinas PUPR Kuansing. Saat ini, M Nasir sudah ditahan karena terlilit korupsi proyek Jalan Batu Panjang-Pangkalan Nyurih.

“Enam saksi diperiksa untuk tersangka MNS. Pemeriksaan dilakukan di gedung Merah Putih KPK, Jakarta,” kata Ali Fikri.

Ali Fikri belum bisa memastikan apakah semua saksi menghadiri panggilan. “Nanti dikabari lagi,” ucapnya.

Selain M Nasir, dalam kasus ini penyidik juga menetapkan Melia Boentaran, Direktur PT Arta Niaga Nusantara (ANN), dan Handoko Setiono, Komisaris PT ANN. Pasangan suami istri itu sudah dinyatakan bersalah oleh majelis hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negari Pekanbaru dengan penjara masing-masing 4 tahun dan 2 tahun.

Dalam dakwaan JPU untuk Melia Boentaran dan Handoko Setiono disebutkannya dalam proyek multiyears Itu kedua terdakwa memiliki tugas masing-masing. Handoko Setiono diduga berperan aktif selama proses lelang untuk memenangkan PT ANN.

Sejak awal lelang dibuka PT ANN telah dinyatakan gugur di tahap prakualifikasi. Namun dengan dilakukannya rekayasa bersama dengan beberapa pihak di Dinas PUPR Kabupaten Bengkalis berbagai dokumen lelang fiktif sehingga PT ANN dinyatakan sebagai pemenang tender pekerjaan.

Melia Boentaran juga diduga aktif melakukan berbagai pertemuan dan memberikan sejumlah uang kepada beberapa pejabat di Dinas PUPR Kabupaten Bengkalis agar bisa dimenangkan dalam proyek ini.

Juga diduga ditemukan berbagai manipulasi data proyek dan pelaksanaan pekerjaan yang tidak sesuai dengan spesifikasi yang ditentukan. Tindakan terdakwa itu memperkaya diri sendiri dan orang lain dengan kerugian negara sebesar Rp114 miliar.

Para terdakwa memperkaya diri sendiri sebesar Rp110,5 miliar. Kemudian, memperkaya orang lain sebesar Rp13,5 miliar yang dibagikan kepada sejumlah pejabat di Dinas PUPR Bengkalis agar agar proyek senilai Rp265 miliar itu dapat dimenangkan oleh perusahaan terdakwa.

“Adapun pejabat yang dibagikan itu di antaranya M Nasir (Kadis PUPR Bengkalis) sebesar Rp850 juta, Syarifuddin alias H Katan (Ketua Pokja ULP) bersama Adi Zulhemi dan Rozali sebesar Rp2.025 miliar,” kata JPU.

Kemudian, Maliki Rp7,5 juta, Ribut Susanto Rp700 juta, Tarmizi Rp8 juta, Syafrizan Rp7 juta, Wandala Adi Putra Rp5 juta, Raffiq Suhada Rp5 juta, Edi Sucipto Rp5 juta, Islan Iskandar Rp267 juta, Edi Kurniawan Rp5 juta, Yudianto Rp25 juta, Ardian Rp16 juta, Raja Deni Rp17,5 juta berikut sebuah sepeda motor KLX, Ridwan Rp20 juta.

Uang juga diberikan kepada Ngawidi Rp15 juta, Ardiansyah Rp10 juta, Agus Syukri Rp10 juta, Lutfi Hendra Kurniawan Rp6 juta, Lukman Hakim Rp6 juta, Safar Rp6 juta dan Muhammad Rafi Rp6 juta.

“Total kerugian negara Rp114.594.000.180 sebagaimana hasil audit yang dilakukan tim Badan Pemeriksa Keuangan (BPK),” tutur JPU.

Dijelaskan, perusahaan terdakwa memenangkan kontrak dengan total sebesar Rp291.515.703.285. Uang itu bahkan telah dibayarkan dengan 100 persen tapi kenyataannya di lapangan, progres pekerjaan tidak sesuai dengan kontrak, bahkan perusahaan telah melampaui batas waktu pengerjaan.

Akibatnya, perusahaan harus membayar addendum karena kelalaian pekerjaan yang tidak sesuai kontrak. Tidak tanggung-tanggung, pihak PUPR telah melakukan 8 kali adendum kepada perusahaan terdakwa.

Meskipun telah dilakukan addendum tapi realisasi pekerjaan PT ANN atas proyek tersebut berdasarkan dimensi dan spesifikasi yang terpasang ternyata tidak sesuai dengan yang dipersyaratkan dalam kontrak. Volume pekerjaan yang terpasang tidak sesuai dengan prestasi pembayaran atau terdapat selisih Rp114.594 miliar,” terang JPU. (Clh/ lbr)

banner 336x280