BENGKALIS, lintasbarometer.com
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) seperti tak punya nyali untuk menahan dua orang kepala daerah di Provinsi Riau yang sudah lama ditetapkan lembaga anti rasuah itu sendiri sebagai tersangka kasus korupsi.
Para tersangka itu adalah Bupati Bengkalis Amril Mukminin, yang barusan saja diberi gelar ‘Datuk Seri Setia Amanah Junjungan Negeri’ oleh Lembaga Adat Melayu Riau (LAMR) Kabupaten Bengkalis dan Walikota Dumai Zulkifli AS.
Entah apa ‘strategi’ yang ‘dimainkan’ KPK hingga kedua kepala daerah di ‘Bumi Melayu Lancang Kuning’ itu masih jua berlama-lama menyandang status tersangkanya.
Jadi, wajar saja jika berbagai kalangan di Riau beranggapan kalau KPK tak punya nyali untuk menahan Amril Mukminin dan Zulkifli AS.
Apalagi terhadap seorang Amril Mukminin, selain menjabat bupati, bisa saja dengan gelar barunya ‘Datuk Seri Setia Amanah Junjungan Negeri’ bikin tambah ciut KPK untuk memeriksa kembali serta melakukan penahanan.
Padahal, sedianya penyidik KPK akan memeriksa ‘Datuk Seri Setia Amanah Junjungan Negeri’ di Bengkalis itu pada hari Senin (20/1/2020) silam. Tapi, politisi Golkar itu tak datang. Malah, dia minta ke KPK agar pemeriksaan dirinya dilakukan saja di lain hari.
Yang buat aneh, KPK pun laksana manut-manut saja. Juru bicara KPK Ali Fikri contohnya, menyebut ke awak media jika surat panggilan untuk Bupati Bengkalis Amril Mukminin sudah dilayangkan.
Bak surat menyurat, ‘Sang Datuk Seri Setia Amanah Junjungan Negeri’ itu lalu mengirim balasan kepada penyidik soal ketidakbisahadirannya. “Dia tidak hadir, (jadwal) pemeriksaannya sebagai tersangka,” ucap Ali Fikri.
Nah, terkait permasalahan hukum yang seolah ‘digantung tak bertali’ ini, seorang Pegiat Anti Korupsi Muhammad Nurul Huda angkat bicara. Dia pun melontarkan kritik atas sikap KPK terhadap tersangka korupsi Amril Mukminin dan Zulkifli AS.
Lewat Forum Masyarakat Bersih (Formasi) Riau, Nurul Huda merasa aneh kenapa kedua kepala daerah tersebut sudah lama ditetapkan menjadi tersangka namun sampai saat ini tak juga dilakukan tindakan penahanan oleh KPK.
“Guna tegaknya keadilan dan kepastian hukum, KPK seharusnya menahan kedua tersangka itu sehingga tidak berlama-lama seperti ini. Karena memang tak baik dalam pencegahan korupsi. Selain itu, dengan masih bebasnya kedua tersangka, dikhawatirkan dapat melakukan penyalahgunaan wewenang yang akan merugikan daerah dan masyarakat,” cetus Direktur Formasi Riau ini, seperti dilansir berazam.com.
Ditambahkannya, KPK pun jangan berlama-lama ‘memilihara’ Amril Mukminin dan Zulkifli AS.
“Sikap KPK dalam kasus ini tidak baik bagi agenda pencegahan dan pemberantasan korupsi,” tandas Nurul Huda.
Kasus Bupati Bengkalis Amril Mukminin
Sebagai informasi, Amril sudah lama menyandang status tersangka di KPK tapi anehnya tak kunjung ditahan. Dia tersandung kasus pembangunan Jalan Duri-Sei Pakning, Kabupaten Bangkalis Tahun Anggaran 2017-2019.
Proyek ini dikerjakan oleh pihak swasta, PT Citra Gading Asritama (PT CGA) dengan nilai mencapai Rp 537,33 miliar. Dari jumlah itu, Amril diduga menerima Rp2,5 miliar dari PT CGA sewaktu menjadi anggota DPRD di sana.
Setelah menjabat bupati, Amril Mukminin diduga KPK menerima uang Rp 3,1 miliar dari perusahaan yang sama. Uang tersebut diberikan sekitar Juni dan Juli 2017. Diduga uang ini sebagai pelicin agar perusahaan menjadi pemenang proyek.
Atas perbuatannya, Amril dijerat dengan Pasal 5 Ayat 1 huruf a atau huruf b dan Pasal 12 B atau Pasal 11 atau Pasal 13 Undang-Undang (UU) Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tipikor juncto Pasal 55 ayat 1 ke 1 KUHP.
Selain proyek tersebut, KPK juga mencium korupsi pada proyek jalan lainnya di Bengkalis. Yaitu, proyek Peningkatan Jalan Batu Panjang-Pangkalan Nyirih. Perkara ini diketahui telah disidik dan dihadapkan ke persidangan.
KPK juga mencium perbuatan melawan hukum pada proyek Peningkatan Jalan Lingkar Bukit Batu-Siak Kecil, dan proyek Peningkatan Jalan Lingkar Pulau Bengkalis. Selanjutnya proyek Pembangunan Jalan Lingkar Barat Duri dan terakhir proyek Pembangunan Jalan Lingkar Timur Duri.
Untuk empat proyek yang disebutkan terakhir, KPK juga telah menetapkan nama-nama tersangkanya. Tak tanggung-tanggung, tersangka itu berjumlah 10 orang.
Ketua KPK Firli Bahuri akhir pekan lalu menjelaskan, proyek peningkatan Jalan Lingkar Bukit Batu-Siak Kecil, tersangkanya adalah M Nasir selaku Pejabat Pembuat Komitmen (PPK), Handoko Setiono (HS) selaku kontraktor, Melia Boentaran (MB) selaku kontraktor.
“Nilai kerugian kurang lebih Rp 156 miliar,” ujar Firli dalam keterangan pers di Gedung KPK, Jakarta, Jumat 17 Januari 2020.
Proyek peningkatan Jalan Lingkar Pulau Bengkalis, nilai kerugian mencapai Rp 126 miliar. Kasus ini kembali menjerat M Nasir (MN) sebagai tersangka. Sementara tersangka lainnya adalah Tirtha Adhi Kazmi (TAK) selaku PPTK, I Ketut Surbawa (IKS) selaku kontraktor, Petrus Edy Susanto (PES) selaku kontraktor, Didiet Hadianto (DH) selaku kontraktor dan Firjan Taufan (FT) selaku kontraktor.
Pada proyek pembangunan Jalan Lingkar Barat Duri, nilai kerugian mencapai Rp 152 miliar. Kasus ini juga menjerat M Nasir. Adapun tersangka lainnya adalah Victor Sitorus (VS) selaku kontraktor.
Sementara untuk proyek pembangunan Jalan Lingkar Timur Duri, nilai kerugian mencapai Rp 41 miliar, nama M Nasir muncul lagi sebagai tersangka. Sedangkan tersangka lainnya adalah Suryadi Halim alias Tando (SH) selaku kontraktor.
Para tersangka disangkakan Pasal 2 ayat 1 atau Pasal 3 UU Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Kasus Walikota Dumai Zulkifli AS
Sedangkan Walikota Dumai Zulkifli AS ditetapkan sebagai tersangka pada Jumat (4/10/2019) dalam kasus dugaan suap mantan pejabat Kementerian Keuangan (Kemenkeu) Yaya Purnomo. Dia juga disangkakan menerima gratifikasi.
Kasus pertama, Zulkifli diduga memberikan uang sebesar Rp550 juta kepada Yaya Purnomo terkait pengurusan Dana Alokasi Khusus (DAK) pada APBN-P 2017 dan APBN 2018 untuk Kota Dumai.
Sedangkan perkara kedua, Zulkifli diduga menerima gratifikasi berupa uang Rp50 juta dan fasilitas kamar hotel di Jakarta.
Zulkifli AS disangka melanggar Pasal 5 ayat 1 huruf a atau b Pasal 13 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP.
Untuk perkara kedua, Zulkifli dijerat dengan Pasal 12 b atau Pasal 11 Undang-Undang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 ayat 1 ke-1 KUHP. (*)
sumber : Laman Riau/Berazam