JAKARTA, lintasbarometer.com
PP terbaru yang berisi iuran baru yang harus dibayar pekerja dan pemberi kerja baik untuk PNS, Pegawai BUMN BUMD dan karyawan sudah diteken oleh Presiden Jokowi.
PP itu; Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera.
Peraturan Pemerintah (PP) Nomor 25 Tahun 2020 tentang Penyelenggaraan Tabungan Perumahan Rakyat atau Tapera sudah diteken Presiden Joko Widodo ( Jokowi) pada 20 Mei lalu.
PP tersebut jadi payung hukum penyelenggaraan pungutan iuran yang akan dilakukan oleh Badan Pengelola Tabungan Perumahan Rakyat ( BP Tapera) dalam waktu dekat.
Dalam PP tersebut, BP Tapera akan memungut sekaligus mengelola dana untuk perumahan bagi PNS, prajurit TNI dan Polri, pekerja di perusahaan BUMN dan BUMD, dan pekerja perusahaan swasta.
“Besaran Simpanan Peserta ditetapkan sebesar 3 persen (tiga persen) dari gaji atau upah untuk peserta pekerja dan peserta pekerja mandiri,” bunyi Pasal 15 PP tersebut dikutip pada kamis (4/6/2020).
Untuk iuran Tapera sebesar 3 persen tersebut, sebanyak 0,5 persen ditanggung oleh pemberi kerja dan sisanya sebesar 2,5 persen ditanggung oleh pekerja yang dipotong dari gaji.
Khusus untuk peserta mandiri, iuran dibayarkan sendiri.
Kepesertaan di BP Tapera akan berakhir jika pekerja sudah pensiun yakni usia 58 tahun.
Nantinya setelah pensiun, peserta bisa mendapatkan dana simpanannya beserta hasil dari dana pengembangan yang ditempatkan di deposito bank, surat utang pemerintah, dan investasi lainnya.
Sebagai informasi, BP Tapera sendiri merupakan peleburan dari Badan Pertimbangan Tabungan Perumahan-Pegawai Negeri Sipil (Bapertarum-PNS).
Sebagai modal awal, pemerintah menyuntik dana untuk BP Tapera sebesar Rp 2,5 triliun.
Sebelum menjadi BP Taperam, Bapertarum-PNS memiliki sekitar 6,7 juta orang peserta, baik PNS aktif maupun yang telah pensiun, dengan dana kelolaan Rp 12 triliun.
Dikutip dari Harian Kompas, Undang-Undang Tabungan Perumahan Rakyat (Tapera) digadang-gadang menjadi solusi pembiayaan jangka panjang untuk kepemilikan rumah di Indonesia.
Rumah subsidi yang terjangkau masyarakat berpenghasilan rendah lokasinya jauh dari pusat kota.
Akibatnya, beban pembeli bertambah. Bukan hanya angsuran kredit, melainkan juga ongkos transportasi yang tidak sedikit.
Di sisi lain, dengan harga rumah yang dipatok pemerintah, pengembang mencari lahan yang semurah mungkin.
Tujuannya seluruh biaya produksi tetap di bawah harga patokan. Sementara itu, kekurangan hunian (backlog) paling besar terjadi di perkotaan.
Dengan lahan yang terbatas, penduduk kota terus bertambah karena urbanisasi.
Laju urbanisasi selama 1960-2014 rata-rata 4,4 persen per tahun. Pada 2015, sebanyak 52 persen penduduk Indonesia tinggal di perkotaan dan akan terus meningkat.( SW/ Lbr)