JAKARTA,lintasbarometer.com
Otoritas Jasa keuangan (OJK) mendorong perbankan untuk melakukan restrukturisasi atau keringanan kredit kepada para debitur yang terdampak pandemi virus corona atau Covid-19. Kebijakan keringanan kredit tersebut ditujukan untuk tiga kelompok prioritas debitur.
Ketua Dewan Komisioner OJK Wimboh Santoso menyatakan otoritas mengantisipasi potensi pandemi corona terhadap peningkatan kredit bermasalah atau non performing loan (NPL), likuiditas, dan permodalan perbankan. Meski saat ini dampaknya belum tercermin pada indikator kinerja dan profil risiko bank, OJK membuat sejumlah kebijakan antisipatif.
Demi menjaga kelangsungan usaha sektor riil, OJK mendorong restrukturisasi kredit perbankan. Restrukturisasi ini melalui pelonggaran penilaian kualitas kredit dan penundaan pembayaran angsuran maksimal selama satu tahun.
OJK memilah tiga kelompok debitur yang diproritaskan mendapat keringanan kredit dari bank. Pertama, debitur usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), termasuk para pengemudi ojek online (ojol) hingga penerima kredit usaha rakyat (KUR).
“Namun tidak semua dari total kredit UMKM yang totalnya sebesar Rp 1.150 triliun itu akan mendapatkannya (keringanan kredit),” kata Wimboh dalam pertemuan dengan para pemimpin redaksi melalui video conference di Jakarta, Kamis malam (16/4).
Menurut dia, paling banyak 50% dari total nilai kredit UMKM itu yang harus dibantu atau hampir Rp 600 triliun. Dari jumlah itu, masa cicilannya sekitar 3 tahun. Jadi, nilai kredit yang perlu ditunda pembayarannya selama satu tahun sekitar Rp 200 triliun. “Ini hitung-hitungaan kasarnya. Tapi kami rutin melakukan due diligence,” kata Wimboh.
Kelompok kedua adalah debitur BUMN. “Gede-gede (nilainya), walaupun (jumlahnya) sedikit,” ujarnya. Namun, dia tidak bisa menyebutkan nilai kreditnya. “Bisa tanya ke Menteri BUMN.” (Baca juga: BRI Ungkap Empat Skema Restrukturisasi Debitur Terdampak Covid-19)
Wimboh menjelaskan, keringanan atau restrukturisasi untuk debitur BUMN ini tidak akan dilakukan sepihak karena BUMN tersebut juga memiliki utang global. Jadi, proses restrukturisasinya harus melibatkan semua pihak kreditur. “Tapi ini tidak semassif tahun 1997/1998 karena masalah yang dihadapi sekarang sama,” katanya.
Kelompok ketiga adalah debitur perusahaan swasta. Restrukturisasi untuk kelompok ini tidak dapat dilakukan satu-satu, namun per kelompok usaha atau per grup usaha. Artinya, juga akan melibatkan anak, cucu, hingga cicit usahanya. “Agar ketahuan menyeluruh. Jangan sampai anak atau cucu usahanya kesulitan, tapi induk usahanya masih punya uang dan sebenarnya sanggup bayar utang,” ujar Wimboh.
OJK telah meminta semua bank agar segera melaporkan daftar rencana restrukturisasi kredit para debiturnya. “Kami selalu update setiap pekan,” katanya.
Beberapa bank sebenarnya sudah mulai melakukan program restrukturisasi kredit. Salah satunya adalah Bank Rakyat Indonesia (BRI). Bank BUMN ini telah merestrukturisasi kredit 134 ribu debitur UMKM yang terdampak pandemi. Ini dilakukan sejak 16 Maret hingga 31 Maret lalu, dengan total nilai pinjaman yang direstrukturisasi Rp 14,9 triliun.
Skema restrukturisasi untuk masing masing debitur berbeda, yang disesuaikan dengan kondisi yang dihadapi. Syaratnya usaha debitur masih berprospek baik dan secara personal debitur memiliki itikad baik atau kooperatif.
Bank Tabungan Negara (BTN) juga melakukan langkah serupa. Bank pelat merah ini memberikan keringanan kredit kepada 17 ribu debitur dari hampir 2 juta total debiturnya saat ini dengan pokok pinjaman lebih Rp 250 triliun. Adapun, total pokok pinjaman yang mendapatkan keringanan tersebut sekitar Rp 2,7 triliun. (KD/ Lbr)