JAKARTA, lintasbarometer.com
Pakar Hukum Margarito Kamis menilai menilai status daftar pencarian orang (DPO) terhadap mantan Sekretaris Mahkamah Agung Nurhadi, Abdurahman dan dua tersangka lain gugur setelah adanya adanya gugatan praperadilan kedua yang diajukan Nurhadi dkk.
Pakar hukum Universitas Khairun Ternate itu menegaskan, pengajuan gugatan praperadilan oleh seorang tersangka terhadap penegak hukum ke pengadilan negeri merupakan hak seorang tersangka untuk menguji keabsahan upaya paksa terhadap diri tersangka. Hak tersebut, menurut Margarito, yang dijamin oleh KUHAP.
Sehingga kata Margarito, praperadilan kedua yang diajukan oleh tiga tersangka yakni Nurhadi Abdurrachman, Rezky Herbiyono (menantu Nurhadi), dan Direktur PT Multicon Indrajaya Terminal (MIT) Hiendra Soenjoto ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan harus dihormati dan dihargai oleh Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK). Margarito menilai, dengan praperadilan tersebut maka secara otomatis segala tindakan hukum dalam proses penyidikan terhadap Nurhadi, Rezky, dan Hiendra harus dihentikan sementara waktu.
“Praperadilan itu kan sah, haknya tersangka. Oleh karena itu praperadilan yang diajukan Pak Nurhadi dan yang lain itu menangguhkan sementara atau menunda sementara kewenangan penyidik untuk memeriksa mereka, memeriksa saksi-saksi, dan melakukan penyidikan terhadap para tersangka itu. Karena kewenangan penyidik itu lah yang sedang diajukan dalam praperadilan,” kata Margarito di Jakarta, Jumat, 21 Februari 2020 kemarin.
Mantan Staf Khusus Menteri Sekretaris Negara ini membeberkan, langkah KPK menetapkan atau memasukkan Nurhadi, Rezky, dan Hiendra ke dalam daftar pencarian orang (DPO) merupakan tindakan yang keliru. Margarito bilang, KPK tidak memiliki dasar dan landasan yang kuat untuk penetapan status DPO tersebut. Karena sebelumnya KPK tidak bisa memastikan bahwa surat panggilan pemeriksaan telah benar-benar diterima langsung oleh Nurhadi maupun Rezky. Selain itu kata Margarito, status DPO Nurhadi dkk gugur dengan sendirinya karena Nurhadi dkk telah mengajukan gugatan praperadilan.
“Penetapan DPO untuk Nurhadi dan lain-lain itu keliru. Praperadilan itu juga mendahului (penetapan status) DPO. Praperadilan itu menggugurkan status DPO itu,” demikian Margarito.
Dia menjelaskan, memang ada Surat Edaran Mahkamah Agung (SEMA) Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status DPO. Tapi Margarito berpandangan, SEMA tersebut harus dilihat sesuai dengan konteksnya. Artinya kata Margarito, SEMA itu tidak bisa berlaku atau diberlakukan ketika seseorang tersangka telah mengajukan praperadilan baru kemudian penegak hukum menetapkan status DPO tersangka tersebut.
“Jadi tidak bisa SEMA itu dipakai untuk Pak Nurhadi dan dua orang itu. Konteksnya kan mereka (Nurhadi, Rezky, dan Hiendra) ajukan praperadilan kedua baru KPK menerbitkan DPO. Jadi surat edaran itu tidak bisa dipakai untuk menerangkan kasus Pak Nurhadi, Rezky, dan Hiendra ini,” ujarnya.
Margarito berpandangan, dalam SEMA Nomor 1 Tahun 2018 jelas dinyatakan bahwa seorang tersangka yang melarikan diri atau dalam status DPO tidak dapat mengajukan praperadilan. SEMA ini bisa dipakai kalau ceritanya adalah KPK lebih dulu menetapkan status DPO terhadap Nurhadi dkk, baru kemudian Nurhadi dkk mengajukan praperadilan kedua.
Dia menambahkan, sebenarnya pihak kuasa hukum Nurhadi dkk tidak perlu mengajukan surat ke KPK agar KPK melakukan penundaan sementara atas seluruh proses penyidikan. Sekali lagi dia bilang, praperadilan kedua yang diajukan Nurhadi dkk secara otomatis menunda sementara seluruh proses penyidikan.
“Jadi tidak perlu diajukan (surat oleh pihak kuasa hukum) ke KPK. Praperadilan itu dengan otomatis menangguhkan pemeriksaan terhadap mereka (Nurhadi, Rezky, dan Hiendra). Dengan atau tanpa permohonan itu dari kuasa hukum sudah harus dihentikan sementara dengan adanya praperadilan,” katanya.
Margarito mengaku tidak mau menilai lebih jauh apakah langkah KPK melanjutkan penyidikan hingga menerbitkan status DPO sebagai tindakan mengangkangi hukum. Yang pasti Margarito menggariskan, tindakan KPK menerbitkan DPO terhadap Nurhadi dkk dan melanjutkan penyidikan di saat Nurhadi dkk mengajukan praperadilan adalah tindakan yang sangat keliru. Untuk itu Margarito mengingatkan KPK agar taat pada hukum.
“KPK taatlah pada hukum, jangan berbuat melanggar hukum. Ketika hukum dimiringkan, itulah korup. Korup itu adalah termasuk melawan hukum. Kalau anda (KPK) sungguh-sungguh memberantas korupsi, taatilah hukum,” tutup Margarito.
Sementara itu, kuasa hukum Nurhadi, Maqdir Ismail mengungkapkan, yang harus diingat KPK dan publik bahwa Nurhadi Abdurrachman, Rezky Herbiyono, dan Hiendra Soenjoto telah mengajukan gugatan praperadilan kedua ke Pengadilan Negeri Jakarta Selatan pada Rabu, 5 Februari 2020. Beberapa hari yaitu tertanggal 11 Februari 2020 baru kemudian KPK menetapkan dan memasukkan Nurhadi dkk ke dalam daftar pencarian orang (DPO).
Dari rentang waktu tersebut, maka praperadilan lebih dulu dari pada status DPO. Menurut Maqdir, alasan KPK memasukkan Nurhadi dkk berstatus DPO karena menurut KPK Nurhadi dkk beberapa tidak hadir panggilan pemeriksaan sebagai alasan yang mengada-ada. Pasalnya, KPK atau penyidik tidak pernah bisa memastikan khususnya Nurhadi dan Rezky telah menerima surat panggilan bsecara langsung dan secara patut menurut hukum.
“KPK harus juga menghargai dong upaya praperadilan yang diajukan Pak Nurhadi, Rezky, dan Hiendra. Jangan tiba-tiba KPK memasukkan sebagai DPO. Praperadilan kan hak tersangka, harusnya juga hak itu dihargai sama penyidik,” tegas Maqdir.
Maqdir mengakui, memang benar ada SEMA Nomor 1 Tahun 2018 tentang Larangan Pengajuan Praperadilan Bagi Tersangka Yang Melarikan Diri atau Sedang Dalam Status DPO. Dia juga sudah membaca isi SEMA tersebut. Tapi yang harus menjadi perhatian yaitu praperadilan kedua lebih dulu diajukan dari pada status DPO. Karenanya praperadilan kedua tidak bisa gugur atau digugurkan secara otomatis. SEMA itu juga tidak bisa dipakai KPK untuk melakukan tindakan melawan hukum.
“Status DPO itu kan post pactum, status itu ada setelah gugatan praperadilan diajukan. SEMA itu tidak bisa dipakai terhadap praperadilan ini. Kecuali kalau sudah ditetapkan sebagai DPO baru kita ajukan praperadilan itu baru bisa dipakai SEMA itu,” katanya. (Lbr/Jas)
sumber : Akurat