Beberapa kali penulis mencoba membuat survei kecil-kecilan kepada sesama alumnus mahasiswa hukum, apakah itu barang rampasan dan uang pengganti. Jawabannya pun mengejutkan, karena sebagian besar banyak yang tidak tahu.
Well, buat kalian yang berprofesi sebagai aparat penegak hukum, khususnya jaksa, Barang Rampasan adalah benda milik terpidana yang sebelumnya telah dilakukan penyitaan dan berdasarkan putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap dinyatakan dirampas untuk negara. Artinya, perampasan barang terpidana tersebut haruslah didasari oleh putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap dan harus didahului oleh tindakan penyitaan.
Tindakan perampasan barang tidak bisa dilakukan terhadap barang yang tidak disita terlebih dahulu. Hal itu tertulis dalam Undang Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (KUHAP) mengenai perampasan dapat dilihat dalam Pasal 194 ayat (1) KUHAP, yaitu sebagai berikut:
“Dalam hal putusan pemidanaan atau bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum, pengadilan menetapkan supaya barang bukti yang disita diserahkan kepada pihak yang paling berhak menerima kembali yang namanya tercantum dalam putusan tersebut kecuali jika menurut ketentuan undang-undang barang bukti itu harus dirampas untuk kepentingan negara atau dimusnahkan atau dirusak sehingga tidak dapat dipergunakan lagi.”
Sedangkan definisi penyitaan dalam KUHAP dijelaskan sebagai serangkaian tindakan penyidik untuk mengambil alih dan atau menyimpan di bawah penguasaannya benda bergerak atau tidak bergerak, berwujud atau tidak berwujud untuk kepentingan pembuktian dalam penyidikan, penuntutan dan peradilan.
Perlu dicatat juga bahwa terdapat pengecualian terhadap perampasan aset hasil tindak pidana pencucian uang atau tindak pidana lain, kewenangan Majelis Hakim pada Pengadilan Negeri telah bersifat final dan mengikat. Hal ini didasarkan pada Peraturan Mahkamah Agung (Perma) No.1 Tahun 2013 tentang Tata Cara Penyelesaian Permohonan Penanganan Harta Kekayaan dalam Tindak Pidana Pencucian Uang atau Tindak Pidana Lain.
Walaupun tidak akan ditemukan kalimat “perampasan” pada Peraturan Mahkamah Agung ini, Perma ini memperhalus dengan menyebutnya sebagai “penanganan harta kekayaan”. Perma ini sengaja disusun untuk mengisi kekosongan hukum acara guna melaksanakan Pasal 67 UU No.8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang. Karena itu, perlu dibentuk Peraturan Mahkamah Agung yang mengatur mengenai hukum acara penanganan harta kekayaan.
Perma ini pada akhirnya menjadi panduan beracara terkait perampasan aset sebagaimana tercantum dalam Pasal 67 UU No.8 Tahun 2010. Yaitu aset-aset dari pihak pelapor yang terdiri dari 16 penyedia jasa keuangan seperti diatur dalam Pasal 17 UU No.8 Tahun 2010. Bagi yang merasa berhak atas aset yang oleh pengadilan dinyatakan dirampas untuk negara, diberi kesempatan untuk menyatakan keberatan.
Permohonan keberatan diajukan secara tertulis pada Ketua Pengadilan Negeri yang mengeluarkan putusan perampasan aset. Jika permohonan keberatan tak meyakinkan, hakim tetap menyatakan putusan perampasan berlaku dan menolak permohonan keberatan.
Lalu bagaimana dengan Uang Pengganti? Uang Pengganti atau lebih jelasnya Uang Pengganti Kerugian Negara merupakan pidana tambahan yang diberikan Majelis Hakim kepada terpidana atas berbagai pertimbangan.
Pasal 18 ayat (1) UU No.31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tipikor menyebutkan bahwa “Selain pidana tambahan sebagaimana dimaksud dalam Kitab Undang-Undang Hukum Pidana, sebagai pidana tambahan adalah:
a. perampasan barang bergerak yang berwujud atau yang tidak berwujud atau barang tidak bergerak yang digunakan untuk atau yang diperoleh dari tindak pidana korupsi, termasuk perusahaan milik terpidana di mana tindak pidana korupsi dilakukan, begitu pula dari barang yang menggantikan barang-barang tersebut;
b. pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta benda yang diperoleh dari tindak pidana korupsi;
c. penutupan seluruh atau sebagian perusahaan untuk waktu paling lama 1 (satu) tahun;
d. pencabutan seluruh atau sebagian hak-hak tertentu atau penghapusan seluruh atau sebagian keuntungan tertentu, yang telah atau dapat diberikan oleh Pemerintah kepada terpidana.”
Jika terpidana kasus korupsi tidak membayar uang pengganti dalam waktu 1 (satu) bulan sesudah putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, maka harta bendanya dapat disita oleh jaksa dan dilelang untuk menutupi uang pengganti tersebut [Pasal 18 ayat (2) UU No.31 Tahun 1999].
Bahkan bila aset koruptor tidak cukup untuk menutupi uang pengganti, maka ia akan dipidana dengan pidana penjara yang lamanya tidak melebihi ancaman maksimum dari pidana pokoknya sesuai dengan ketentuan dalam Undang-undang ini dan lamanya pidana tersebut sudah ditentukan dalam putusan pengadilan [Pasal 18 ayat (3) UU No. 31 Tahun 1999].
Asal tahu saja nih, saat ini masih banyak diantara terpidana korupsi (a.l Hendra Rahardja, terpidana kasus BLBI) yang diadili menggunakan UU No.3 Tahun 1971 yang pada Pasal 34 nya menyebutkan: “Selain ketentuan-ketentuan Pidana yang dimaksud dalam KUHP maka sebagai hukuman tambahan adalah:
a. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan yang tak berujud, dengan mana atau mengenai mana tindak pidana itu dilakukan atau yang seluruhnya atau sebagian diperolehnya dengan tindak pidana korupsi itu, begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan sitem hukum ataupun bukan;
b. Perampasan barang-barang tetap maupun tak tetap yang berujud dan tak berujud yang termaksud perusahaan siterhukum, dimana tindak pidana korupsi itu dilakukan begitu pula harga lawan barang-barang yang menggantikan barang-barang itu, baik apakah barang-barang atau harga lawan itu kepunyaan siterhukum ataupun bukan, akan tetapi tindak pidananya bersangkutan dengan barang-barang yang dapat dirampas menurut ketentuan tersebut sub a pasal ini.
c. Pembayaran uang pengganti yang jumlahnya sebanyak-banyaknya sama dengan harta-benda yang diperoleh dari korupsi.”
Sedangkan Pasal 35 UU No.3 Tahun 1971 menyebutkan:
1) Perampasan barang-barang bukan kepunyaan sisterhukum tidak dijatuhkan, apabila hak-hak pihak ketiga dengan iktikad baik akan terganggu.
2) Jika di dalam putusan perampasan barang-barang itu termasuk juga barangbarang pihak ketiga yang mempunyai iktikad baik, maka mereka ini dapat mengajukan surat keberatan terhadap perampasan barang-barangnya kepada Pengadilan yang bersangkutan, dalam waktu tiga bulan setelah pengumuman Hakim. Dalam hal itu Jaksa diminta keterangannya, tetapi pihak yang berkepentingan harus pula didengar keterangannya.
Dari pemaparan diatas terlihat ada beberapa perbedaan perlakuan yang terkait Uang Pengganti Kerugian Negara oleh terpidana sebagaimana diatur dalam kedua Undang Undang tersebut diatas.
Semoga dengan penjelasan singkat ini dapat menambah pengetahuan kawan-kawan tentang Barang Rampasan dan Uang Pengganti Kerugian Negara. (Jas/rls)