PEKANBARU, lintasbarometer.com
Jaksa Penuntut Umum (JPU) Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyampaikan jawaban atas pledoi atau pembelaan terdakwa dugaan suap proyek pembangunan Jalan Duri-Sei Pakning, Kabupaten Bengkalis, Amril Mukminin. JPU meminta hakim menolak pembelaan Bupati Bengkalis non aktif tersebut.
Pembacaan replik bergantian oleh JPU, Febby Dwiyandospendy dan Tonny F Pangaribuan secara virtual di hadapan Majelis Hakim Pengadilan Tipikor pada Pengadilan Negeri Pekanbaru, Senin (19/10/2020). Pada persidangan pembacaan pledoi, Kamis (15/10/2020), pembelaan disampaikan Amril secara pribadi dan juga melalui penasehat hukumnya.
“Kami selaku Penuntut Umum meminta kepada Majelis Hakim Pengadilan Tindak Pidana Korupsi pada Pengadilan Negeri Pekanbaru yang memeriksa dan mengadili perkara ini, agar menolak atau mengesampingkan seluruh dalil-dalil pembelaan yang disampaikan oleh terdakwa secara pribadi maupun yang disampaikan oleh tim,” kata JPU dalam persidangan yang dipimpin Lilin Herlina.
Dalam tuntutannya, JPU menjatuhkan hukuman 6 tahun penjara dan denda Rp500 juta atau subsider 6 bulan kurungan. JPU menyatakan Amril terbukti bersalah menerima suap dari PT Citra Gading Asritama (CGA) dalam pelaksanaan proyek Jalan Duri-Sei Pakning sebesar Rp5,2 miliar dan menerima gratifikasi Rp23,6 miliar.
Gratifikasi diberikan oleh pengusaha sawit Jonny Tjoa selaku Direktur Utama dan pemilik perusahaan sawit PT Mustika Agung Sawit Sejahtera dan Adyanto selaku Direktur dan pemilik PT Sawit Anugrah Sejahtera.
Dari pengusaha Jonny Tjoa sebesar Rp12.770.330.650 dan dari Adyanto sebesar Rp10.907.412.755. Uang itu diterima di pada Juli 2013-2019. Ada yang langsung diberikan kepada Amril Mukminin dan ada melalui rekening istrinya, Kasmarni yang ketika itu menjabat Camat Pinggir.
Kepada majelis hakim, JPU meminta agar menjatuhkan pidana terhadap terdakwa Amril Mukminin sebagaimana tuntutan. JPU juga menegaskan mengenai tuntutan penjatuhan hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama jangka waktu tertentu terhadap Amril.
“Mengingat jabatan terdakwa selaku Bupati Bengkalis merupakan jabatan publik karena dipilih langsung oleh masyarakat melalui Pilkada tahun 2015,” kata JPU.
Dijelaskan JPU, sudah tentu masyarakat Kabupaten Bengkalis menaruh harapan yang besar kepada terdakwa selaku kepala daerah agar dapat berperan aktif melaksanakan tugas dan kewajibannya dalam memajukan pembangunan di daerahnya. Masyarakat berharap diberikan teladan yang baik dengan tidak melakukan korupsi, kolusi ataupun nepotisme.
Demikian pula dengan jabatan terdakwa sebelumnya selaku anggota DPRD Kabupaten Bengkalis yang juga merupakan jabatan publik, karena dipilih langsung oleh masyarakat melalui Pemilu. “Sebaliknya, terdakwa justru mencederai amanat yang diembannya tersebut dengan melakukan tindak pidana korupsi,” kata JPU.
Hal ini sebagaimana diatur dalam ketentuan Pasal 18 ayat (1) huruf d Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi Bahwa hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik tersebut selaras dengan ketentuan Pasal 35 ayat (1) angka 3 KUHP.
“Terdakwa yang memangku suatu jabatan publik, maka sudah sepatutnya terhadap terdakwa selain dijatuhi hukuman pokok, juga dijatuhi hukuman tambahan berupa pencabutan hak untuk dipilih dalam jabatan publik selama jangka waktu tertentu terhitung sejak selesai menjalani pidana pokoknya,” tutur JPU. (Clh/ Lbr)