JAKARTA,lintasbarometer.com
Otoritas Jasa Keuangan (OJK) mencatat ada sebanyak 10.260 nasabah yang telah mengajukan permohonan restrukturisasi (keringanan) ke perusahaan pembiayaan atau leasing. Mereka mengajukan keringanan cicilan kredit karena terkena dampak merebaknya penyebaran pandemi virus korona (covid-19) di Indonesia.
Kepala Eksekutif Pengawas Industri Keuangan Non Bank (IKNB) OJK Riswinandi meminta nasabah untuk proaktif agar mendapatkan keringanan tersebut. Namun nasabah yang mengajukan permohonan itu harus termasuk dalam kategori debitur yang benar-benar terdampak.
“Jadi memang harus proaktif dari para debiturnya untuk menyampaikan (permohonan restrukturisasi). Memang harus dari mereka yang memang terkena dampak covid-19 usahanya menurun sehingga berkurang kemampuan membayar dan mereka mendaftar,” ujar Riswinandi dalam telekonferensi di Jakarta, Minggu sore, 5 April 2020.
Hingga saat ini sudah ada sebanyak 110 perusahaan pembiayaan yang dapat melakukan restrukturisasi kredit. Secara total, terdapat 183 perusahaan pembiayaan yang tersebar di seluruh Indonesia.
“Sampai akhir Maret kemarin sudah ada 110 perusahaan pembiayaan yang menyampaikan dan mengumumkan bahwa mereka membuka kesempatan untuk restrukturisasi. Tapi ini bukan berarti yang lainnya tidak akan melakukan (restrukturisasi), karena semangatnya kita sudah koordinasi dengan asosiasi. Jadi semuanya akan melakukan, tinggal masalah teknis saja,” ungkap dia.
Riswinandi menyebutkan regulator dan asosiasi sudah mengeluarkan tata cara pengajuan permohonan keringanan kredit ini. Nasabah yang hendak mengajukan permohonan restrukturisasi diminta untuk menyampaikannya secara elektronik.
“Jadi tidak perlu datang (ke kantor perusahaan leasing), cukup dengan media elektronik. Itu bisa difasilitasi,” jelas Riswinandi.
Program restrukturisasi kredit perusahaan pembiayaan merupakan salah satu kebijakan OJK yang diatur dalam Peraturan OJK (POJK) Nomor 11/POJK.03/2020 tentang Stimulus Perekonomian Nasional. Keringanan kredit ini ditujukan untuk pekerja informal seperti supir taksi, pengemudi ojek online, nelayan, hingga pelaku Usaha Mikro Kecil dan Menengah (UMKM). Debitur terdampak sudah bisa mengajukan permohonan restrukturisasi sejak awal April 2020 lalu.
Sebelumnya, Ketua Umum Asosiasi Perusahaan Pembiayaan (APPI) Suwandi Wiratno mengatakan ada tiga jenis restrukturisasi yang ditawarkan perusahaan pembiayaan kepada para debitur yang mengalami kesulitan keuangan akibat penyebaran covid-19. Di antaranya perpanjangan jangka waktu, penundaan sebagian pembayaran, dan jenis keringanan lainnya yang ditawarkan oleh masing-masing multifinance tersebut.
Sementara pengajuan permohonan restrukturisasi dapat dilakukan debitur dengan sejumlah persyaratan. Pemohon merupakan debitur yang terkena dampak langsung covid-19 dengan nilai pembiayaan di bawah Rp10 miliar, pekerja sektor informal, dan pelaku UMKM.
“Tidak memiliki tunggakan sebelum 2 Maret 2020, pemegang unit kendaraan atau jaminan, dan kriteria lain yang ditetapkan oleh perusahaan pembiayaan,” jelas Suwandi dalam keterangan resminya yang dikutip Senin, 30 Maret 2020.
Suwandi mengungkapkan permohonan pengajuan keringanan dapat dilakukan dengan mengisi formulir yang dapat diunduh dari laman resmi multifinance tersebut dan mengembalikan formulir melalui surel. Persetujuan permohonan restrukturisasi akan diinformasikan oleh perusahaan pembiayaan melalui surel.
Menurutnya, permohonan keringanan kredit dapat disetujui apabila jaminan pembiayaan masih dalam penguasaan debitur. Bagi debitur yang mendapatkan persetujuan diharapkan melakukan pembayaran dengan penuh tanggung jawab sesuai perjanjian yang telah disepakati bersama.
Suwandi juga memastikan bahwa perusahaan pembiayaan tetap beroperasi dan memberikan layanan. Namun ia meminta agar debitur tidak perlu mendatangi kantor perusahaan pembiayaan, sebab informasi lanjutan bisa dilihat melalui laman resmi atau call center perusahaan pembiayaan tersebut.
“Bagi Bapak/Ibu yang tidak terdampak wabah virus korona tetap melakukan pembayaran angsuran sesuai dengan perjanjian agar terhindar dari sanksi denda dan catatan negatif di dalam Sistem Laporan Informasi Keuangan (SLIK),” tutup Suwandi.
(medcom/Lbr)