JAKARTA, lintasbarometer.com
Langkah Pemerintah Amerika Serikat (AS) mengeluarkan Indonesia dari status negara berkembang harus dipandang sebagai tantangan. Karena itu, baik kalangan dunia usaha maupun pemerintah perlu bekerja keras untuk meningkatkan daya saing.
Pandangan ini disampaikan Wakil Ketua Umum Kadin Bidang Perhubungan Carmelita Hartoto, anggota Komisi VI DPR RI Herman Khaeron, Direktur Riset Center of Reform on Economics (CORE) Piter Abdullah, dan Kepala Ekonom BNI Kiryanto.
Kebijakan yang dirilis Perwakilan Perdagangan Amerika Serikat (United Stated Trade Representative atau USTR) tentu tidak berhenti pada prestise karena Indonesia bukan lagi negara berkembang, melainkan juga menghadirkan dampak negatif, terutama bagi eksportir, karena hilangnya insentif dagang yang selama ini dinikmati.
Selain Indonesia, negara lain yang turut dicoret Paman Sam dari daftar negara berkembang adalah China, Brasil, India, dan Afrika Selatan. Dengan demikian, Indonesia dan negara-negara dimaksud masuk dalam jajaran negara maju dalam perdagangan internasional.
“Bagaimanapun banyak hal yang diuntungkan. Tapi, tentu kita di pengusaha harus lebih giat lagi bagaimana meningkatkan cash flow perusahaan. Terutama untuk pasar ekspor,” ujar Carmelita Hartoto kepada SINDO Media di Jakarta kemarin.
Selain sektor usaha, dia mengatakan, pemerintah juga harus memberikan perhatian pada kemudahan berusaha. “Tetap ada sektor-sektor usaha lain yang butuh perhatian pemerintah misalnya kemudahan dalam hal pembiayaan. Di sisi lain, jangan sampai status ini juga membuat kita terlena dengan memberikan kemudahan yang sama dengan investasi asing,” ucapnya.
Dalam pandangan Carmelita, Indonesia akan terus menghadapi berbagai tantangan pada masa-masa mendatang. Karena itu, dia kembali menekankan pentingnya kesiapan bersaing dengan negara-negara maju lainnya harus direncanakan sedini mungkin. “Terutama rencana yang berkaitan dengan kebijakan di sektor moneter dan fiskal. Kebijakan itu juga harus setara dengan negara lain yang maju seperti negara tetangga di ASEAN,” katanya.
Herman Khaeron juga realistis melihat situasi perdagangan dunia semakin menantang dan Indonesia harus selalu siap menghadapinya, termasuk menghadapi pasar bebas. Menurut dia, bagi Indonesia yang penting adalah berusaha bagaimana memperkuat basis pembangunan ekonomi nasional.
“Kita harus kuat pada keunggulan komparatif kita, yaitu sektor perikanan, kelautan, dan agraris. Kemudian kita juga memiliki keuntungan pasar yang besar,” ujar Herman hari ini di Jakarta.
Indonesia juga harus memperkuat jangkar perekonomian nasional. Caranya dengan mengedepankan sektor UMKM dan koperasi. Langkah ini penting karena akan menjadi pemberdayaan ekonomi masyarakat sekaligus memperkecil kesenjangan. “Harus ada pengembangan teknologi dan akselerasi dalam riset. Keduanya harus bisa menjadi prioritas agar Indonesia dapat sejajar dengan negara-negara maju,” ujar Herman.
Piter Abdullah mengakui pencabutan fasilitas AS berdampak negatif terhadap ekspor Indonesia ke AS karena Indonesia akan sulit bersaing untuk masuk AS. Kendati demikian, di sisi lain dia melihat Indonesia tidak bisa selamanya bergantung pada fasilitas generalized system of preferences (GSP). Untuk itu, peningkatan daya saing produk dalam negeri perlu dilakukan secepatnya.”Kita harus siap dengan meningkatkan kualitas dan efisiensi. Dengan demikian, kita mampu bersaing tanpa fasilitas,” tuturnya.
Adapun Kiryanto justru meminta Indonesia harus menyambut gembira pencabutan status negara berkembang Indonesia karena dianggap kekuatan perekonomian di mata AS. Dia mengakui status baru menimbulkan konsekuensi dengan hilangnya kenyamanan, kenikmatan, dan kemewahan yang selama ini diperoleh. Namun, dia menekankan bahwa hal tersebut masalah biasa yang harus dihadapi dan dicarikan solusi.
“Kita tidak perlu gaduh, panik, dan gugup, tetapi tetap tenang dan optimistis menyikapinya dengan menyiapkan langkah-langkah kebijakan yang taktis supaya kebijakan AS itu tidak berdampak negatif bagi perekonomian Indonesia,” ucap Kiryanto.
Sejalan dengan itu, pemerintah juga harus mencari pasar di luar AS yang masih kompetitif. Untuk itu, pemerintah perlu berkoordinasi dengan pelaku dunia usaha atau asosiasi industri seperti Kadin untuk merumuskan kebijakan bersama sehingga kebijakannya benar-benar membumi dan bisa implementatif.
“Kita juga harus mewaspadai negara-negara mitra dagang AS yang menjadi kompetitor sehingga kita dapat mengalahkan mereka dalam memasuki pasar AS. Karena, bagaimanapun pasar AS berkontribusi signifikan untuk ekspor produk kita,” ujar Kiryanto.
Keputusan USTR mengeluarkan Indonesia dari daftar negara berkembang selaras dengan sikap Presiden Donald Trump yang mengeluhkan banyak negara mengaku masih berkembang, tapi mendapatkan banyak keuntungan dari aturan dagang AS seperti terkait aturan minimum subsidi produk ekspor.
Berdasarkan rilis resmi USTR(22/2), ada tiga aturan mengapa sebuah negara tak lagi masuk kategori berkembang dan tak berhak mendapat perlakuan spesial dari AS. Pertama, pendapatan nasional per kapita di atas USD12.000. Kedua, share ke perdagangan dunia lebih dari 0,5%. Ketiga, mempertimbangkan keanggotaan di organisasi ekonomi internasional.
Untuk diketahui, pendapatan nasional per kapita Indonesia baru USD3.027 per 2018. Namun, Indonesia masuk kategori kedua dan ketiga. Menurut data The Global Economy, share ekspor Indonesia tercatat sudah mencapai 0,91% per 2017. Selain itu, Indonesia juga merupakan anggota G-20.
(SN / Lbr)