JAKARTA, lintasbarometer.com
Badan Pemeriksa Keuangan (BPK) mengungkap banyak masalah yang ada di PT Asuransi Jiwasraya (Persero) hingga membuat gagal bayar. Masalah-masalah yang dimaksud mulai dari investasi asal-asalan, hingga adanya konflik kepentingan di manajemen.
Ketua BPK Agung Firman Sampurna mengatakan pihaknya telah melakukan 2 kali pemeriksaan terhadap Jiwasraya. Pertama pada 2018, dan kedua 2019. Dalam pemeriksaan pertama itu, BPK mendapatkan 16 temuan terkait dengan pengelolaan bisnis, investasi, pendapatan, dan biaya operasional Jiwasraya tahun 2014-2015.
“Temuan- temuan tersebut antara lain investasi terhadap saham TRIO, SUGI, dan LCGP tahun 2014 dan tahun 2015 tidak didukung oleh kajian usulan penempatan saham yang memadai,” kata Agung dalam konferensi pers di kantornya, Jakarta, Rabu (8/1/2020).
“PT AJS (Jiwasraya) berpotensi terhadap risiko gagal bayar atau transaksi pembelian MTN dari PT Hanson International dan PT AJS kurang optimal dalam mengawasi reksadana yang dimiliki dan terdapat penempatan saham yang tidak langsung di suatu perusahaan yang berkinerja kurang baik,” sambungnya.
Agung mengatakan, Jiwasraya membukukan kerugian Rp 13,7 triliun pasca September 2019. Pada posisi November 2019 Jiwasraya diperkirakan mengalami negatif ekuitas sebesar Rp 27,7 triliun. Kerugian itu karena Jiwasraya menjual produk saving plan dengan cost of fund (COF) yang sangat tinggi di atas bunga deposito dan obligasi yang dilakukan secara masif sejak 2015.
“Dana dari investasi tersebut diinvestasikan pada instrumen saham dan reksadana saham yang berkualitas rendah sehingga mengakibatkan adanya negative spread. Pada akhirnya hal ini mengakibatkan tekanan likuiditas pada Jiwasraya yang berujung pada gagal bayar,” katanya.
Selain itu, BPK juga menemukan adanya penyimpangan dalam penjualan produk Saving Plan Jiwasraya. Produk saving plan merupakan produk yang memberikan kontribusi pendapatan tertinggi di Jiwasraya sejak 2015. Produk ini sebenarnya merupakan produk simpanan dengan jaminan return yang sangat tinggi dengan tambahan manfaat asuransi.
Penyimpangan yang ditemukan ialah penunjukan pejabat Kepala Pusat Bancassurance pada SPV pusat bancassurance tidak sesuai ketentuan. Selain itu, pengajuan COF langsung kepada direksi, tanpa melibatkan divisi terkait dan tidak didasarkan pada dokumen perhitungan COF dan review usulan COF.
“Penetapan COF saving plan tidak mempertimbangkan kemampuan investasi Jiwasraya untuk menghasilkan pendapatan yang diperlukan untuk menutup biaya atas produk asuransi yang dijual. Dalam pemasaran produk saving plan yang diduga ada konflik kepentingan karena pihak-pihak terkait di Jiwasraya mendapatkan fee atas penjualan produk tersebut,” jelasnya
Masalah lainnya, Jiwasraya juga melakukan investasi pada saham-saham perusahaan yang berkualitas rendah yang dilakukan tidak sesuai dengan ketentuan atau bahkan
“Analisis pembelian dan penjualan saham diduga dilakukan secara pro forma dan tidak didasarkan atas data yang valid dan obyektif. Kemudian melakukan aktivitas jual beli saham dalam waktu yang berdekatan untuk menghindari pencatatan unrealized gross, yang kami duga window dressing juga,” katanya.
“Jual beli dilakukan dengan pihak tertentu secara negosiasi agar bisa memperoleh harga tertentu yang diinginkan, kepemilikan atas saham tertentu melebihi batas maksimal yaitu di atas 2,5%” sambungnya.
Jiwasraya, kata dia, juga melakukan investasi langsung pada saham-saham yang tidak liquid dengan harga yang tidak wajar. Manajemen Jiwasraya bersama manajer investasi juga diduga menyembunyikannya pada beberapa reksa dana dengan underlying saham.
“Pemeriksaan BPK sedang menganalisis prediksi atau hipotesis tersebut. Hal ini belum final, harus dicatat. Dan dapat berkembang sesuai bukti-bukti yang dikumpulkan dalam pemeriksaan BPK selanjutnya,” katanya.
Jual beli saham tersebut, kata Agung, diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi dan diduga dilakukan dengan mereka yang sengaja, sehingga harga jual beli tidak mencerminkan harga yang sebenarnya.
“Saham-saham tersebut antara lain adalah BJBR, SMBR, PPRO. Indikasi kerugian sementara akibat transaksi tersebut diperkirakan sekitar Rp 4 triliun,” katanya.
Agung menambahkan, pihak-pihak terkait adalah pihak internal Jiwasraya pada tingkat direksi, general manager, dan pihak lain di luar Jiwasraya.
Tak cuma saham, pada posisi per 30 Juni 2018 Jiwasraya juga memiliki sekitar 28 produk reksadana dan 20 produk reksadana di atas 90%. Reksadana tersebut juga sebagian besar dengan underlying saham berkualitas rendah dan tidak likuid.
Dalam investasi reksadana BPK menemukan penyimpangan. Pertama, analisis manajer investasi dari Jiwasraya dalam rencana subscription reksadana tidak dilakukan secara memadai dan diduga dibuat secara pro forma agar manajer investasi terlihat seolah-olah memiliki kinerja yang baik. Hal itu dilakukan agar dapat dipilih oleh Jiwasraya untuk menempatkan investasi.
“Investasi reksadana memiliki underlying saham-saham dan MTN berkualitas rendah, dan transaksi pada saham-saham tersebut diindikasikan dilakukan oleh pihak-pihak yang terafiliasi. Di antara saham-saham dan MTN tersebut adalah merupakan arahan dari Jiwasraya yang seharusnya tidak dilakukan oleh Jiwasraya selaku investor.
“Indikasi kerugian sementara akibat penurunan nilai saham pada reksadana ini diperkirakan sekitar Rp 6,4 triliun,” tuturnya. (Lbr/Net)