JAKARTA, lintasbarometer.com
Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan penyehatan Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara atau APBN harus dilakukan secara terukur dan bertahap. Dengan demikian, APBN tidak menjadi sumber masalah ke depannya.
“Kita tidak ingin Indonesia dalam posisi sesudah menangani Covid-19, mensetabilkan sosial dan ekonomi, kemudian APBN menjadi sumber masalah,” ujar Sri Mulyani dalam sosialisasi Undang-undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan yang disiarkan daring, Jumat, 17 Desember 2021.
Sri Mulyani mengatakan selama masa pandemi ini, belanja negara digunakan untuk membiayai berbagai program yang penting bagi masyarakat. Misalnya untuk program kesehatan, bantuan sosial, bantuan UMKM, hingga belanja lain yang bertujuan memperkuat kondisi ekonomi Indonesia.
Belanja tersebut, kata Sri Mulyani, tentu perlu didanai, misalnya dengan penerimaan pajak dan bukan pajak. Lantaran masih dalam kondisi tertekan, ia mengatakan defisit anggaran ditingkatkan di atas 3 persen. Secara bertahap defisit itu akan kembali diturunkan dan mencapai di bawah 3 persen pada 2023.
“Tujuannya masyarakat pulih dulu, ekonomi kuat lagi, kemudian APBN menjadi sehat kembali,” ujar Sri Mulyani.
Adapun salah satu upaya pemerintah menyehatkan keuangan negara, kata dia, adalah dengan bersama DPR menyusun ketentuan reformasi perpajakan melalui UU Harmonisasi Peraturan Perpajakan.
Sri Mulyani memastikan beleid ini berpihak kepada masyarakat dan tidak akan membebani. “Kalau bicara pajak, masyarakat langsung berpikir ini beban. Padahal dalam UU Harmonisasi ini banyak pemihakan kepada rakyat, terutama yang tidak mampu dan UMKM. tidak mungkin DPR akan membiarkan pemerintah membuat kebijakan yang membebani masyarakat,” ujar Sri Mulyani.
Rancangan Undang-Undang Harmonisasi Peraturan Perpajakan (RUU HPP) telah disahkan menjadi Undang-Undang (UU) pada tanggal 29 Oktober 2021. UU yang terdiri dari sembilan bab itu memiliki enam ruang lingkup pengaturan, yakni Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan (KUP), Pajak Penghasilan (PPh), Pajak Pertambahan Nilai (PPN), Program Pengungkapan Sukarela (PPS), Pajak Karbon, serta Cukai.
Selain itu, UU HPP juga mengatur dua hal utama yaitu asas dan tujuan. “UU ini diselenggarakan berdasarkan asas keadilan, kesederhanaan, efisiensi, kepastian hukum, kemanfaatan, dan kepentingan nasional,” dinukil dari keterangan tertulis Direktorat Jenderal Pajak, Kamis, 4 November 2021. (Tempo)