JAKARTA, lintasbarometer.com
Menteri Hukum dan HAM Yasonna Laoly akhir-akhir ini terus menjadi sorotan publik.
Diberitakan sebelumnya bahwa seorang napi yang saat ini sudah bebas melalui program asimilasi membuat pengakuan yang cukup mengejutkan.
Dilansir melalui Tribun Pekanbaru, napi berinisial A mengaku jika ia harus membayar Rp 5 juta untuk bisa mendapatkan tiket asimilasi.
Selain A, pengakuan sama juga dikatakan oleh napi S yang juga diminta uang agar bisa bebas.
Bahkan, awalnya S diminta uang sejumlah Rp 7 juta namun hanya sanggup membayar Rp 5 juta.
Sontak, banyak yang bertanya-tanya mengenai isu tersebut. Yasonna pun akhirnya angkat bicara.
Dalam keterangan resminya, ia menyatakan berjanji akan menindak tegas oknum yang melakukan dugaan pungutan liar (pungli).
Yasonna meminta masyarakat berani melaporkan oknum nakal tersebut kepadanya melalui berbagai saluran yang tersedia, atau melalui jajaran di Ditjen Pemasyarakatan untuk memudahkan proses penindakan.
Dia menjamin data pelapor akan dirahasiakan.
“Instruksi saya jelas, terbukti pungli saya pecat. Instruksi ini sudah saya sampaikan secara langsung lewat video conference kepada seluruh Kakanwil, Kadivpas, Kalapas, dan Karutan,” ujar Yasonna melalui keterangan tertulis.
Yasonna menegaskan, Kemenkumham sudah melakukan investigasi dan menerjunkan tim ke daerah untuk menelusuri dugaan pungli tersebut.
“Namun investigasi belum menemukan adanya pungli. Kalau ada yang tahu, tolong laporkan. Supaya mudah, silakan sampaikan lewat pesan di Instagram dan Facebook dan page saya,” kata Yasonna.
Sebelumnya, Yasonna sudah memberikan lima instruksi terkait pengeluaran WBP (Warga Binaan Pemasyarakatan) yang menjalani asimilasi dan integrasi.
Pertama, tidak boleh ada pungutan liar, karena prosesnya gratis.
Instruksi kedua, proses pengeluaran WBP asimilasi dan integrasi tidak boleh dipersulit.
Mereka yang menjalani program ini adalah WBP yang sudah menjalani 2/3 masa hukuman, tidak menjalani subsider, bukan napi korupsi atau bandar narkoba atau kasus terorisme, berkelakuan baik selama dalam tahanan, dan ada jaminan dari keluarga.
“Instruksi ketiga adalah memastikan WBP memiliki rumah asimilasi yang jelas untuk memudahkan pengawasan dan program berjalan dengan baik,” timpal Yasonna.
Keempat, seluruh warga binaan yang menjalani asimilasi dan integrasi tetap dibina dan diawasi berkala karena datanya lengkap hingga alamat tinggal.
Pengawasan dilakukan dengan koordinasi Kepolisian serta Kejaksaan.
“Instruksi kelima, warga binaan harus diedukasi oleh petugas pemasyarakatan agar terhindar dari Covid-19,” kata Yasonna.
Adapun alasan memberikan asimilasi dan integrasi pada warga binaan itu adalah untuk menyelamatkan mereka dari ancaman menyebarnya Covid-19.
Sebab, kondisi di dalam lapas dan rutan sudah kelebihan kapasitas sehingga sulit menerapkan protokoler pencegahan Covid-19.
“Ini karena kemanusiaan. Tidak ada yang bisa menjamin Covid-19 tidak masuk ke dalam lapas atau rutan, karena ada petugas yang punya aktivitas di luar dan kita tidak pernah tahu jika dia membawa virus itu ke dalam lapas,” tandasnya. (Jas/Lbr)