JAKARTA, lintasbarometer.com
Keputusan Haksa Agung ST Burhanuddin yang memberhentikan Firdaus Dewilmar dari jabatan Kepala Kejaksaan Tinggi Sulawesi Selatan (Kajati Sulsel) memunculkan spekulasi negatif. Sebabnya, usia jabatan Firdaus terhitung masih belia, yakni hanya enam bulan lebih.
Pencopotan Firdaus tersebut berdasarkan Surat Keputusan Jaksa Agung Nomor: KEP-380/A/JA/12/2019 tentang Pemberhentian dan Pengangkatan Jabatan Struktural di Lingkungan Kejaksaan Republik Indonesia. Ia dimutasi ke jabatan sebagai Kepala Pusat Pendidikan dan Pelatihan Teknis Fungsional pada Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaan Agung.
Lalu apa ‘dosa’ Firdaus hingga dimutasi? Direktur Anti-Corruption Committee Sulawesi, Kadir Wokanubun menyebut selama menjabat sebagai Kajati Sulsel, Firdaus Dewilmar dianggap tak memiliki kinerja yang baik. Khususnya dalam hal penanganan sejumlah kasus dugaan tindak pidana korupsi.
Bahkan ia mengungkapkan bahwa sejumlah kasus korupsi yang ditangani pun tak jelas perkembangannya. Yang terakhir, keputusannya memberikan penangguhan penahanan terhadap eks-buron kasus dugaan korupsi penyewaan lahan negara kawasan Makassar New Port, Soedirjo Aliman alias Jentang.
Keputusan itu dinilai oleh kalangan pegiat antikorupsi sebagai kebijakan yang telah mencoreng wajah supremasi penegakan hukum, utamanya dalam hal pemberantasan korupsi.
Bahkan Kadir mengatakan kebijakan Firdaus tersebut sebagai tindakan yang tak menghargai kinerja Kejaksaan Agung yang telah bersusah payah membantu mengejar Jentang yang telah buron selama dua tahun lebih.
“Itu yang sangat tidak masuk akal. Buronan malah diberi penangguhan penahanan. Kami harap pejabat Kajati yang baru nantinya bisa berikan kepastian hukum agar kasus Jentang ini segera disidangkan di Pengadilan Tipikor karena sudah bertahun-tahun ditangani,” ucap Kadir di Jakarta, Minggu 29 Desember 2019.
Dosa berikutnya, kata Kadir, yakni janji Firdaus untuk menuntaskan penanganan sejumlah kasus korupsi mangkrak warisan Kajati Sulsel sebelumnya juga tak ada yang terealisasi. Seperti kasus dugaan suap proyek DAK (Dana Alokasi Khusus) senilai Rp 49 miliar di Kabupaten Bulukumba dan dugaan korupsi proyek DAK senilai Rp 39 miliar di Kabupaten Enrekang.
Firdaus pun tak menepati janji ingin membuka kembali penyidikan beberapa kasus dugaan korupsi yang telah dihentikan (SP3) meski telah mengantongi hasil audit kerugian negara dari BPK maupun BPKP. Salah satunya, terkait kasus dugaan korupsi pengadaan alat kesehatan (alkes) di Kabupaten Pangkep yang telah sebelumnya telah menetapkan tiga orang tersangka.
“Jangankan mau buka kembali kasus alkes Pangkep, penyidikan dua kasus DAK saja tampak melunak. Padahal selain statusnya sudah naik sidik, penanganannya pun hingga bertahun tak ada kejelasan penentuan tersangka,” kata Kadir.
Dari catatan ACC Sulawesi, selama menjabat sebagai Kajati Sulsel, Firdaus hanya menghabiskan waktu mengadakan kerjasama (MoU) dengan sejumlah instansi baik dari negeri maupun perusahaan swasta yang ada di Sulsel.
“Itu saja yang nampak dikerjakan oleh Firdaus. Penuntasan sejumlah kasus korupsi yang mangkrak malah tak jadi prioritas,” ujar Kadir. (*)
sumber : regnews