JAKARTA, lintasbarometer.com
Dua terduga pelaku penyiraman air keras terhadap penyidik senior Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) Novel Baswedan, berinisial RM dan RB, yang merupakan anggota polisi aktif, baru saja ditangkap. Namun, banyak orang, termasuk sang korban, berharap penangkapan ini bukanlah akhir penyelidikan.
Tim Advokasi Novel Baswedan, misalnya, mendesak tim teknis bentukan Polri untuk segera mengungkap auktor intelektualis atau “jenderal” yang ada di balik teror terhadap Novel. “Tidak berhenti pada pelaku lapangan,” kata Kurnia Ramadhani, salah satu anggotanya, dalam keterangan tertulis pada Jumat (27/12/19).
Jejak Keterlibatan Polri Sudah Terendus Lama
Tim gabungan bentukan Polri, ujar Kurnia, telah menyatakan bahwa serangan kepada Novel berhubungan dengan pekerjaannya sebagai penyidik KPK. Dalam hal ini, KPK sendiri menangani kasus-kasus besar, sesuai UU KPK, sehingga tidak mungkin pelakunya sekadar dua orang.
“Harus dipastikan juga bahwa yang bersangkutan bukanlah orang yang ‘pasang badan’ untuk menutupi pelaku yang perannya lebih besar. Polri harus membuktikan pengakuan yang bersangkutan bersesuaian dengan keterangan saksi-saksi kunci di lapangan. Hal ini diperlukan karena terdapat kejanggalan-kejanggalan,” ujarnya.
Kejanggalan yang dimaksud Kurnia adalah penerbitan SP2HP (Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan) tertanggal 23 Desember 2019 yang menyatakan pelakunya belum diketahui. Lalu ada pula simpang-siur berita: apakah kedua polisi aktif terduga pelaku tersebut menyerahkan diri atau ditangkap?
“Korban, keluarga, dan masyarakat berhak atas informasi. Terlebih kasus ini menyita perhatian publik dan menjadi indikator keamanan pembela HAM dan antikorupsi,” ujarnya.
Cerita Novel Baswedan soal Peran “Jenderal”
Seperti dikutip dari Tempo, kata “jenderal” bukan sekali ini saja muncul dalam pembicaraan tentang teror terhadap Novel. Jauh sebelumnya, Novel bahkan pernah menyampaikan dugaannya tentang keterlibatan seorang jenderal.
Menurut Novel, dua penyelidik kepolisian mendatangi rumahnya di Jalan Deposito, Kelapa Gading, Jakarta Utara, tak lama sekembalinya dari Singapura, 22 Februari 2018, untuk dirawat. Ia menyebut kedua penyidik itu ingin menggali keterangan soal teror.
Namun, rencana itu batal lantaran pemeriksaan itu justru menanyakan soal keterlibatan jenderal. Pada titik itu, Novel justru tak mengindahkan dan hanya menyebut, “Kalau saya jawab, apa kamu berani menangkap? Saya yakin enggak,” kata Novel, Jumat, (06/04/18) lalu.
Kepolisian Daerah Metro Jaya merilis dua sketsa wajah terduga pelaku sekitar tujuh bulan setelah kejadian. Namun, hasil penyelidikan kepolisian justru tak menemui titik terang dan pelaku pun tak juga terungkap.
Kepolisian pernah memeriksa Novel saat ia dirawat di Singapura. Novel menyebut saat itu fokus pemeriksaan kepolisian pada kesaksiannya di pemberitaan media adalah mengenai keterlibatan jenderal. “Dari awal sudah saya bilang, kepentingan polisi memeriksa saya buru-buru itu apa? Enggak ada,” ucap Novel.
Lebih lanjut, Novel mengatakan bahwa memang ada kejanggalan karena keterangannya dirasa penting ketika menyangkut berkas perkara. Kepolisian pun ingin mengetahui bukti-bukti tentang keterlibatan jenderal yang dimaksud dalam kasus penyerangannya.
Saat pemeriksaan itu, Novel sempat menyebut sejumlah nama di kepolisian yang diduga terlibat. “Saya beritahu nama-nama orang yang mengintai, malah dibilang alibi,” kata Novel.
Tak hanya itu, tim pemantau bentukan Komnas HAM yang diwakili Sandrayati Moniaga, Bivitri Susanti, Chairul Anam, dan Taufan Damanik, juga pernah memeriksa Novel yang didampingi kuasa hukumnya. Pemeriksaan itu berfokus pada kronologi kejadian.
“Kalau soal nama jenderal, ya, cerita itu ada, tapi kami coba kumpulkan. Apakah verified atau tidak, nanti tergantung pemeriksaan,” kata ketua tim Sandrayati. (Media Fartner)