ROHUL, lintasbarometer.com
Seorang nenek tua, Sakiah perempuan asal Rambah Hilir kabupaten Rokan Hulu berusia 48 tahun menagis terisak-isak manakala mengingat peristiwa tanggal 21 Agustus 2019 silan, yang mana putra semata wayangnya, Irwan (terdakwa), digiring polisi Polsek Rambah Hilir dan dijebloskan ke penjara atas tuduhan pembakaran lahan.
Janda sepasang anak ini tak habis pikir kenapa anaknya sampai diambil dari ladang pinjaman itu.
“Kami cuma mau menanam padi. Lalu belukar di ladang itu kami purun,menumpuk yang mau dibakar seperti tumpukan sampah lalu kami bakar, Luasan yang kami bersihkan tak sampai 2 hektar dan itupun kami purun secara berangsur, mulai dari bulan Juni sampai Agustus 2019,” cerita Saikah kepada awak media Minggu (12/1/2020).
Di kampungnya kata Saikah, sudah turun temurun warga memorun (membakar lahan) begitulah kebiasaan orang kampung, kalau membuka ladang biasanya dibakar dengan cara memorun.
“Lantaran yang dibakar sedikit, tak terpikir akan berujung penjara,” katanya.
Akibatnya anak saya, Irawab (, Saikah terdakwa dipenjarared) menjadi tersangka dan kini terdakwa dikursi pesakitan Pengadilan Negeri Pasir Pengarayan, sementara ia (terdakwa red) merupakan satu-satunya tulang punggung guna memenuhi kebutuhan kami sehari-hari”papar Sakiah sambil terus menagis. ini Irwanlah yang jadi tulang punggung.
Gara-gara kondisi itu pula, demi menengok anaknya sidang di Pasir Pengarayan, Saikah terpaksa menggadaikan gubuj reotnya seharga Rp2 juta.
“Uang itu saya pakai untuk biaya hidup sehari-hari dan menengok anak saya, setiap hari mengantar makanan untuk dia di penjara,” lirih suara perempuan parubaya tersebut saat menceritakan kepada sejumlah awak media.
Terlepas dari kepada penegakan hukum yang ada kata Saikah, terselip secuil harapan dalam hatinya supaya anaknya bisa mendapat keadilan.
“Selasa pekan depan sidang lagi, Mudah-mudahan ada keadilan buat kami masyarakat miskin ini,anak sebab Irawan (terdakwa) anak saya itu tulang punggung saya sejak saya berpisah dari suami. Kalau dia tidak ada, hidup saya akan seperti apa? Saya sendirian sekarang di rumah,”lanjutnya.
Ditempat terpisah Pengamat Hukum Pidana, Efesus DM Sinaga mengatakan, amat menyayangkan hal tersebut sebab “Hukum belum menjamin keadilan bagi Saikah, Irwan itu membakar untuk mempermudah menanam padi dan pembukaan lahan juga dengan memorun dan Memorun sudah menjadi kebiasaan bagi orang kampung yang akan berladang menanam padi, jadi pembukaan lahan dengan cara memurun itu dibenarkan lho dalam Pasal 5 UU No 5 tahun 1960 tentang Pokok-Pokok Agraria,” ujar Efesus.
Bagi pengamat hukum perhutanan, DR Sadino, “Sepanjang dia (Irwan) melakukan itu untuk mencari nafkah, Kalau dia ditahan, berarti yang menahan melanggar hak konstitusi, Di undang-undang boleh kok membakar, apalagi jika diangsur, ada baiknya keluarganya membawa persoalan ini ke Komnas HAM,” saran Sadino seperti dilansir gatra.
Bagi DR Nurul Huda, ada kearifan lokal yang berlangsung secara turun temurun dan tidak salah di adat meski dalam hukum positif itu dilarang.
“Sepanjang itu kebiasaan yang turun temurun, itu enggak jadi soal. Hukum negara tak boleh melanggar itu. Sebab hukum adat lebih dulu ada dari hukum negara,” kata dosen hukum pidana Universitas Islam Riau ini.
Sepanjang apa yang dilakukan Irwan tidak mengganggu tata tertib kehidupan bernegara kata Nurul, itu diperbolehkan.
“Apa yang dilakukan Irwan itu bisa dimaafkan, sepanjang tidak mengganggu. Tapi kata ‘mengganggu’ ini kan subjektif. Mengganggu siapa dulu?,” katanya.
Dalam hukum, yang dilarang membakar lahan itu kata Nurul adalah pemilik kebun yang berizin dan pekebun. Sementara kasus Irwan adalah pertanian, “jadi hukumnya enggak masuk,” katanya.
Hanya saja kata Nurul, kalau proses hukum yang dilakukan tadi adalah langkah prefentif, enggak jadi soal. Ini untuk efek jera. “Maklum, belakangan karhutla menjadi momok di Riau. Kalau semua orang membakar, gimana pula jadinya Riau ini. Sekarang, semuanya kembali ke kepentingan penegakan hukum tadi,” ujarnya.