JAKARTA, lintasbarometer.com
Undang-Undang Nomor 30/2002 tentang Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK) hasil revisi resmi dibubuhi nomor oleh Kementerian Hukum dan HAM (Kemenkumham). Payung hukum lembaga antirasuah itu telah masuk ke Lembaran Negara dengan nomor 19 Tahun 2019 tentang Perubahan UU KPK.
“Revisi UU KPK sudah tercatat dalam Lembaran Negara sebagai UU No 19 Tahun 2019 mengenai Perubahan UU KPK, sudah diundangkan di Lembaran Negara Nomor 197 dengan nomor Tambahan Lembar Negara (TLN): 6409 tertanggal 17 Oktober 2019,” kata Direktur Jenderal Perundang-undangan Kemenkumham, Widodo Eka Tjahjana saat dikonfirmasi, seperti dimuat jawapos, Jumat (18/10).
UU KPK hasil revisi secara otomatis memang berlaku pada Kamis (17/10) kemarin. Karena rapat paripurna DPR yang mengesahkan UU KPK hasil revisi berlangsung usai 30 hari di gelar, yakni pada Selasa (17/9).
Sesuai dengan Pasal 73 ayat (2) UU 12 tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan. Jika RUU tidak ditandatangani oleh Presiden dalam waktu paling lama 30 hari terhitung sejak RUU tersebut disetujui bersama, maka RUU tersebut sah menjadi undang-undang dan wajib diundangkan.
Kendati demikian, salinan UU Nomor 19 tahun 2019 tentang KPK iu masih belum dapat disebarluaskan. Karena hingga kini masih diteliti oleh pihak Sekretariat Negara.
“Salinan UU masih diautentifikasi oleh Sekretariat Negara. Setelah itu baru kita publikasikan di website,” jelas Widodo.Diketahui, polemik UU KPK hasil revisi terus mencuat. Elemen mahasiswa hingga akademisi menginginkan adanya Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (Perppu) untuk UU KPK hasil revisi.
Berdasarkan catatan tim transisi KPK, terdapat 26 poin yang dapat melemahkan kinerja pemberantasan korupsi. Salah satunya dewan pengawas. Karena segala aturan penyadapan, penindakan, penyidikan hingga penyitaan harus seiizin dewan pengawas.
Terlebih, dalam Pasal 3 UU 30/2002 hasil revisi, berbunyi bahwa Komisi Pemberantasan Korupsi adalah lembaga negara dalam rumpun kekuasaan eksekutif yang dalam melaksanakan tugas dan wewenangnya bersifat independen dan bebas dari pengaruh kekuasaan manapun.
Pakar hukum pidana Abdul Fickar Hadjar memandang, kinerja KPK ke depan tidak lagi independen, karena berada di bawa kekuasaan negara. Terlebih pegawai KPK kini berada di jajaran eksekutif.
“KPK yang dahulunya independen, dengan status pegawai KPK menjadi ASN, sekarang menjadi lembaga eksekutif murni,” tegas Fickar kepada JawaPos.com, Kamis (17/10). (*)
sumber : net