lintasbarometer.com
Pada dasarnya pembuktian dalam perkara pidana berbeda dengan pembuktian dalam perkara perdata. Dalam perkara pidana pembuktian memiliki tujuan untuk mencari kebenaran materil, yaitu kebenaran sejati (sesungguhnya). Sedangkan pembuktian dalam perkara perdata memiliki tujuan untuk mencari kebenaran formil, yaitu hakim tidak boleh melewati batas-batas permintaan diajukan oleh para pihak yang berperkara. Jadi hakim dalam mencari kebenaran formal cukup membuktikan dengan ‛preponderance of evidence‛, sedangkan hakim pidana dalam mencari kebenaran materiil, maka peristiwanya harus terbukti (beyond reasonable doubt).
Apabila dilihat dari aspek teori, terdapat 4 (empat) teori pembuktian, yaitu:
1. Pembuktian menurut undang-undang secara positif (positive wetteljik bewijstheorie).
Pada dasarnya teori ini menyatakan pembuktian yang benar hanyalah berdasar undang-undang. Artinya, hakim hanya diberikan kewenangan dalam menilai suatu pembuktian hanya berdasarkan pertimbangan undang-undang, sehingga menyingkirkan semua pertimbangan subjektif hakim dalam menilai suatu pembuktian diluar undang-undang.
2. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim saja (conviction intime).
Menurut teori ini, suatu pembuktian untuk menentukan salah atau tidaknya terdakwa semata-mata hanya dinilai berdasarkan keyakinan hakim. Seorang hakim tidak terikat oleh macam-macam alat bukti yang diatur dalam undang-undang. Hakim dapat memakai alat bukti tersebut untuk memperoleh keyakinan atas kesalahan terdakwa atau mengabaikannya. Alat bukti yang digunakan hakim hanya menggunakan keyakinan yang disimpulkan dari keterangan saksi dan pegakuan terdakwa.
3. Pembuktian berdasarkan keyakinan hakim secara logis (conviction raisonnee).
Teori ini menekankan kepada keyakinan seoranng hakim berdasarkan alasan yang jelas. Artinya, kika sistem pembuktian conviction intime memberikan keluasan kepada seorang hakim tanpa adanya pembatasan darimana keyakinan tersebut muncul, sedangkan pada sistem pembuktian conviction raisonnee merupakan suatu pembuktian yang memberikan pembatasan keyakinan seorang hakim haruslah berdasarkan alasan yang jelas. Hakim wajib menguraikan dan menjelaskan atas setiap alasa-alasan apa yang mendasari keyakinannya atas kesalahan seorang terdakwa.
4. Pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie).
Teori ini merupakan suatu percampuran antara pembuktian conviction raisonnee dengan sistem pembuktian menurut undang-udanng secara positif (positive wetteljik bewijstheorie). Teori ini mengajarka bahwa salah atau tidaknya seorang terdakwa ditentukan keyakinan hakim yang didasarkan kepada cara dan dengan alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang.
Apabila melihat 4 (empat) teori diatas, maka hukum acara pidana di Indonesia menganut sistem pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie) dengan didasarkan pada Pasal 183 KUHAP yang menyatakan :
“Hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.”
Bahwa dari uraian Pasal 183 KUHAP tersebut dinyatakan, hakim memutus perkara pidana (menyatakan salah terhadap terdakwa) apabila didukung 2 (dua) alat bukti (teori positive wetteljik bewijstheorie) dan memperoleh keyakinan bahwa keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya (teori conviction raisonnee). Jadi terdapat penggabungan teori positive wetteljik bewijstheorie dan teori conviction raisonnee, sehingga dapat dikatakan KUHAP menganut ajaran teori pembuktian berdasarkan undang-undang secara negatif (negatief wettellijk bewijs theotrie).
Adapun 2 (dua) alat bukti yang dijadikan pertimbangan hakim diatur dalam Pasal 184 ayat (1) KUHAP, yaitu:
- Keterangan saksi;
- Keterangan ahli;
- Surat;
- Petunjuk;
- Keterangan Terdakwa. (*)
sumber : doktorhukum