PEKANBARU, lintasbarometer.com
Empat petinggi PT Fikasa Group dituntut hukuman penjara selama 14 tahun. Jaksa Penuntut Umum (JPU) menyatakan terdakwa bersalah melakukan tindak pidana perbankan yang merugikan nasabah Rp84,9 miliar.
Keempat terdakwa adalah Bhakti Salim selaku Direktur Utama PT WBN dan Direktur Utama PT TGP, Agung Salim selaku Komisaris Utama PT WBN, Elly Salim Direktur PT WBN dan Komisaris PT TGP, dan Christian Salim selaku Direktur PT TGP.
“Menjatuhkan pidana terhadap para terdakwa masing-masing selama 14 tahun penjara dikurangi selama berada dalam tahanan sementara dengan perintah agar terdakwa tetap ditahan,” ujar JPU, Herlina Samosir dan Lastarida di hadapan majelis hakim yang diketuai Dahlan, Selasa (1/4/2022) petang
Sementara terdakwa Maryani dituntut hukuman 12 tahun penjara. Dia merupakan Marketing Freelance PT Wahana Bersama Nusantara (WBN) dan Direktur Utama PT Tiara Global Propertindo (TGP).
Maryani terbukti bersalah karena turut serta melakukan beberapa perbuatan yang ada hubungannya sedemikian rupa sehingga menghimpun dana dari masyarakat tanpa izin dari Bank Indonesia (BI) dan atau Otoritas Jasa Keuntungan (OJK).
Para terdakwa bersalah melanggar Pasal 46 ayat (1) Undang-undang (UU) RI Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas UU RI Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan Jo Pasal 64 ayat (1) Jo Pasal 55 ayat (1) ke-1 KUHPidana.
Selain penjara, empat pimpinan PT Fikasa Group dituntut membayar denda masing-masing Rp20 juta subsidair 11 bulan kurungan. Sejumlah barang bukti juga turut dirampas untuk mengganti kerugian yang dialami para saksi korban, sebesar Rp84.916.000.000.
Untuk Maryani, JPU menuntutnya membayar denda sebesar Rp15 miliar. Dengan ketentuan, apabila tidak dibayarkan diganti dengan hukuman kurungan selama 8 bulan.
Atas tuntutan itu, majelis hakim memberikan kesempatan kepada para terdakwa untuk menyampaikan nota pembelaan. Pembacaan pledoi itu dijadwalkan pada sidang berikutnya.
JPU dalam dakwaannya menyebutkan, dugaan penggelapan uang nasabah yang dilakukan para terdakwa ini terjadi pada tanggal 14 Oktober 2016 sampai dengan 25 Maret 2020. Setidaknya ada 10 orang nasabah yang menjadi korban para terdakwa dengan total dana Rp84.916.000.000 yang dihimpun tanpa izin usaha dari Bank Indonesia.
Perbuatan itu berawal ketika itu PT WBN yang bergerak di bidang usaha consumer product dan PT TGP yang bergerak di bidang properti serta perhotelan sedang membutuhkan tambahan modal untuk membiayai operasional perusahaan. Pada saat itu terdakwa Agung Salim mencari ide untuk mendapatkan tambahan modal tersebut.
Diputuskan untuk menerbitkan Promisorry Note atas nama perusahaan yang ada dalam Fikasa Grup, yaitu PT WBN dan PT TGP. Kemudian terdakwa Agung menyuruh terdakwa Maryani menjadi Marketing Freelance PT WBN dan PT TGP (Fikasa Grup).
Dengan menggunakan company profil Fikasa Grup yaitu PT WBN dan PT TGP, Maryani pada sekitar bulan Oktober 2016 mendatangi korban Archenius Napitulu, warga Pekanbaru. Ia menawarkan investasi dengan bunga 9 persen sampai 12 persen per tahun dengan cara menjadi pemegang Promissory Note PT WBN dan PT TGP.
Saat menawarkan Promissory Note atas nama PT WBN dan PT TGP kepada masyarakat di Pekanbaru, Maryani menyampaikan Fikasa Grup menghimpun dana dengan menerbitkan Produk Tabungan berbentuk Promissory Note dengan tingkat bunga yang lebih tinggi dibandingkan dengan bunga bank pada umumnya.
Maryani menjelaskan, bahwa produk tabungan berbentuk Promissory Note ini sama dengan produk deposito bank pada umumnya. Di mana, nasabah menempatkan sejumlah dana untuk jangka waktu tertentu, kemudian nasabah mendapatkan bunga dalam rate yang tetap (fixed rate) sebagaimana telah disepakati dan pokok dijamin kembali pada waktu jatuh tempo,”jelasnya.
Maryati menyebut, jika bunga deposito pada bank umumnya berkisar 5 persen per tahun, maka Fikasa Group bisa memberikan bunga 6 sampai 12 persen per tahun, sehingga tabungan berbentuk Promissory Note ini lebih menguntungkan.
Selain tabungan berbentuk deposito promissory note, Fikasa Group menawarkan penempatan dana dalam jangka waktu tertentu. Korban juga dijanjikan mendapatkan imbalan bunga serta pokoknya terjamin.
Maryani menjelaskan, Fikasa Group dimiliki oleh konglomerat keluarga Salim (terdakwa Agung Salim, terdakwa Bhakti Salim, terdakwa Elly Salim, dan terdawka Christian Salim). Disebutkan, tabungan berbentuk deposito Promissory note Fikasa Group mempunyai izin dari Bank Indonesia/OJK.
Dengan kepiawaiannya selaku Marketing Freelance Fikasa Group, Maryani dari tahun 2016 sampai 2019, berhasil mendapatkan nasabah dari masyarakat dan menempatkan dana di PT WBN dan PT TGP dengan menyetorkan dana dengan cara transfer ke rekening PT WBN. Ada 3 nomor rekening, masing-masing ke BCA, CIMB Niaga, serta Bank Mandiri.
Pada beberapa Promissory Note PT WBN dari para korban, ternyata dana yang ditransfer bukan ke PT WBN melainkan ke rekening PT Inti Putra Fikasa pada ketiga bank itu. Setelah itu, para nasabah mendapatkan bukti penempatan berupa perjanjian promissory note dan certificate yang berisi nominal penempatan, bunga keuntungan, dan tanggal jatuh tempo.
Dokumen itu ditandatangani terdakwa Bhakti Salim, juga terdakwa Agung Salim, terdakwa Elly Salim, serta terdakwa Christian Salim. Sebanyak 10 nasabah yang menempatkan dananya di PT WBN dan PT TGP juga diminta menandatangani bukti perjanjian itu.
Seharusnya dana digunakan untuk operasional dan modal pengembangan usaha dari PT WBN dan PT TGP,, justru digunakan para terdakwa untuk operasional dan modal usaha perusahaan lain yang ada dalam Fikasa Group. Di antaranya, untuk usaha air minum dan perhotelan dengan badan hukum berbeda tanpa ada persetujuan nasabah.
“Hasil keuntungan dari usaha tersebut masuk ke perusahaan group Fikasa, juga ke rekening pribadi terdakwa Bhakti Salim, Agung Salim, Elly Salim, Christian Salim dan Maryani. Hal ini dapat dilihat dari aliran uang keluar dan masuk atas nama PT WBN Bulan Oktober tahun 2016 sampai dengan bulan September 2020,,” papar JPU.
Sementara para nasabah yang sudah menanamkan modal tidak mendapatkan keuntungan. Mereka meminta uang dikembalikan dan dijanjikan para terdakwa dibayar pada 25 Maret 2020 tapi hingga kini uang tersebut belum dikembangkan. (Rls)