Tim Ahli Satgas Saber Pungli Minta Masukkan soal Modus Suap

Hukum Kriminal, Politik5620 Dilihat
banner 468x60

JAKARTA, lintasbarometer.com

banner 336x280

Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) diminta Tim Ahli Satuan Tugas Sapu Bersih Pungutan Liar (Satgas Saber Pungli) memberikan masukan soal hasil kajian modus-modus pungutan liar (Pungli) atau suap di Indonesia. Tim juga meminta masukan soal peta rawan korupsi di kementerian/lembaga dan pemerintah daerah, khususnya di sektor pelayanan publik dan Sumber Daya Alam (SDA).

“Mereka baru saja dilantik Menteri Koordinator Bidang Politik Hukum dan HAM (Polhukam), Mahfud MD, pada 22 April 2020. Pembicaraan dengan KPK merupakan bagian dari agenda tim ahli menyusun rencana kerja,” kata Pelaksana Tugas Juru Bicara Pencegahan KPK, Ipi Maryati, di Jakarta, Selasa (28/4).

Permintaan masukan ini dilakukan KPK bersama tim ahli melalui diskusi daring pada Senin (27/4). Tim ahli Satgas Saber Pungli yang terlibat dalam diskusi daring yaitu Ketua Tim Ahli Satgas Saber Pungli yang juga mantan Ketua Komisi Yudisial, Suparman Marzuki; Guru Besar Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, Rhenald Kasali; Sosiolog Universitas Indonesia, Imam B Prasodjo, dan Dosen Fakultas Hukum Universitas Andalas Feri Amsari.

Terkait Pungli, kata Ipi, KPK menyampaikan pada masa-masa awal lembaga antirasuah itu berdiri, Pungli atau suap banyak ditemukan pada front office layanan. Seiring upaya pembenahan sistem dan implementasi kebijakan reformasi birokrasi, Pungli atau suap front office perlahan-lahan berkurang.

“Namun di sisi lain, KPK menemukan Pungli atau suap kemudian berubah modus dan terjadi di belakang layar atau pada back office layanan publik, termasuk pada layanan publik perizinan,” jelas Ipi.

Perizinan Rentan Korupsi

Sejak berdiri, KPK telah melakukan berbagai kajian mengenai perizinan dan ditemukan tahapan-tahapan dalam bisnis proses sistem perizinan rentan terjadi korupsi. Kerentanan tersebut berakibat pada melemahnya pengendalian dalam perizinan dan tidak terpungutnya secara maksimal penerimaan negara seperti Penerimaan Negara Bukan Pajak (PNBP).

Di sisi lain, kata Ipi, biaya sosial bagi masyarakat meningkat. Pembenahan sistem perizinan tidak hanya terkait dengan regulasi, tetapi juga persoalan kelembagaan layanan perizinan, infrastruktur sistem, termasuk juga etika birokrasi.

Berdasarkan sejumlah hasil kajian tersebut, KPK menyampaikan rekomendasi yang diikuti dengan rencana aksi perbaikan untuk membeni pada sektor perizinan dan pelayanan publik. Perbaikan meliputi berbagai aspek kelembagaan, tata laksana maupun regulasi.

Pertama, tambah Ipi, pemerintah menyusun standar dalam pelayanan publik dan menerapkan UU Pelayanan Publik secara penuh dan konsisten. Layanan publik yang diterapkan di pusat maupun di daerah harus memiliki standar pelayanan minimal yang bisa diukur yaitu ada standar pelayanan, biaya, kualitas, juga standar mekanisme pengaduan.

Kedua, kata Ipi, menciptakan budaya pelayanan service delivery culture atau budaya pelayanan, yang berarti budaya yang berorientasi pada pelayanan masyarakat. Sehingga perlu mendorong perubahan paradigma aparatur negara sebagai pelayan, bukan sebagai pemerintah dalam pengertian yang sempit.

Ketiga, sambungnya, mengembangkan sistem layanan, baik perizinan maupun non-perizinan yang terpadu dan saling terhubung. Sehingga memperkuat dimensi pengendalian dalam penyelenggaraan urusan layanan publik.

Dalam diskusi yang berkembang, KPK menyampaikan tentang peta kerawanan korupsi. KPK melakukan pemetaan terhadap risiko dan kerawanan korupsi dengan menggunakan instrumen salah satunya Survei Penilaian Integritas (SPI).

Survei dilaksanakan KPK secara regular setiap tahun sejak 2006 dengan bekerja sama kepada Badan Pusat Statistik (BPS). Melalui survei ini, KPK memetakan risiko korupsi yang dapat terjadi pada kementerian/lembaga dan pemerintah daerah. (Adm/Lbr/KJ)

banner 336x280