JAKARTA, lintasbarometer.com
Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) menyatakan masih ditemukan kecurangan (fraud) dalam tata kelola Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terkait proses klaim.
Pada tahun 2018, total defisit layanan Jaminan Kesehatan Nasional (JKN) mencapai Rp 12,2 trilun, di mana sebesar Rp 5,6 triliun atau sekitar 45 persen disebabkan oleh tunggakan iuran peserta mandiri (PBPU).
Hal itu disampaikan Wakil Ketua KPK Nurul Ghufron Bersama Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan, dalam pemaparan hasil kajian tata kelola Dana Jaminan Sosial Kesehatan di Gedung Merah Putih KPK, kemarin.
Ghufron mengatakan, kajian tersebut dilatarbelakangi beberapa temuan KPK.
Di antaranya adalah masih ditemukannya keterlambatan pembayaran klaim ke fasilitas kesehatan, kolektibilitas iuran hanya tambah kurang 50 persen pada segmen peserta mandiri.
Permasalahan lainnya, defisit yang semakin meningkat pada tahun 2018 telah mencapai Rp 12,2 triliun dan dalam kegiatan piloting bersama penanganan fraud JKN 2018, masih ditemukan fraud dalam proses klaim.
Ghufron mengatakan, berdasarkan kajian, sejumlah permasalahan menyebabkan terjadinya defisit. Pertama, permasalahan moral hazard dan adverse selection pada peserta mandiri (PBPU).
Dalam hal ini, sejumlah peserta menggunakan layanan JKN kemudian menunggak iuran.
“Pada tahun 2018, total defisit JKN mencapai Rp 12,2 triliun. Jumlah tersebut disebabkan oleh tunggakan iuran peserta mandiri sebesar Rp 5,6 triliun atau sekitar Rp 45 persen,” tutur Ghufron.
Selanjutnya adalah over payment karena kelas rumah sakit yang tidak sesuai hasil piloting pada tahun 2018. Dia mengatakan, 4 dari 6 rumah sakit mengklaim tidak sesuai dengan kelasnya, akibatnya terdapat over payment sebesar Rp 33 miliar per tahun.
“Berikutnya fraud di lapangan masih ditemukan seperti up-coding dalam analisa, re-admisi phantom billing, unbundling dan lain sebagainya,” ucapnya.
Deputi Pencegahan KPK Pahala Nainggolan pun mengatakan, atas temuan tersebut pihaknya memberikan sejumlah rekomendasi kepada Kementerian Kesehatan dan BPJS Kesehatan untuk menutupi defisit.
Pertama, Kemenkes diminta untuk mempercepat penyusunan Pedoman Nasional Praktik Kedokteran (PNPK) sebab dari target 80 jenis PNPK, hingga Juli 2019 baru tercapai 32 PNPK.
“Ketiadaan PNPK akan mengakibatkanunnecessary treatment. Kasus klaim katarak 2018 dari total klaim sebesar Rp 2 triliun, maka diestimasi unnecessary treatmentmaksimal Rp 200 miliar. Di tahun 2018 terdapat kasus unnecessary bedah caesar dan fisioterapi,” ujarnya.
Rekomendasi selanjutnya adalah opsi pembatasan manfaat untuk penyakit katastropik atau akibat gaya hidup, seperti jantung, diabetes, kanker, stroke, dan gagal ginjal.
Total klaim penyakit katastropik adalah sebesar 30 persen dari total klaim pada 2018 sebesar Rp 94 triliun, yaitu Rp28 triliun.
“Dengan diatur PNPK penyakit katastropik, maka potensi unnecessary treatmentsebesar 5 – 10 persen atau sebesar Rp 2,8 triliun dapat dikurangi,” katanya.
Berikutnya mengakselerasi Coordination of Benefit (CoB) dengan asuransi kesehatan swasta. Data Dewan Asuransi Indonesia menyatakan 1,7 persen penduduk Indonesia yang memiliki asuransi atau sekitar 4,5 juta orang atau sekitar 10 persen dari total peserta PPU nonpemerintah dan PBPU yang berjumlah 45 juta peserta (PPU=15 juta peserta dan PBPU=30 juta peserta).
“Total beban klaim PPU nonpemerintah dan PBPU tahun 2018 sebesar Rp 34,5 triliun. Dengan asumsi besaran CoB seperti yang diterapkan di Jepang dan Korea Selatan, yaitu 20-30 persen, dapat mengalihkan beban klaim peserta PPU nonpemerintah dan PBPU sebesar Rp 600-900 miliar kepada asuransi swasta,” tuturnya.
Pahala pun menuturkan, Kemenkes diminta mengimplementasikan co-payment10 persen sesuai Permenkes Nomor 51 Tahun 2018. Dengan co-payment 10 persen, dari total tagihan peserta mandiri sebesar Rp 22 triliun di tahun 2018, akan terjadi penghematan sebesar Rp 2,2 triliun.
Hasil kajian KPK pun merekomendasikan agar dilakukan perbaikan penetapan kelas, sebab dari hasil review Kemenkes tahun 2018, dari 7000 rumah sakit, ditemukan 898 rumah sakit yang tidak sesuai kelas.
“Jika dilakukan eprbaikan penetapan kelas, terdapat estimasi penghematan beban jaminan BPJS Kesehatan sebesar Rp 6,6 triliun. Sehingga total minimum penghematan pengeluaran klaim sebesar Rp 12,2 triliun,” ucap dia. (Adm/ Lbr)
sumber: pikiranrakyat