Oknum Polisi Dan Jaksa Diduga Merekayasa Kasus

Daerah, Hukum Kriminal6753 Dilihat
banner 468x60

SIDOARJO, lintasbarometer.com

banner 336x280

Tujuan hukum adalah menciptakan rasa keadilan di tengah masyarakat.

Biarpun langit runtuh, keadilan harus tetap ditegakkan. Dua idiom tersebut rasanya sering kita dengar dari mulut para dosen dan praktisi hukum. Tapi kadang kita merasa ungkapan itu ibarat jauh panggang dari api, artinya jauh dari kenyataan.

Seperti kita lihat dalam kasus pidana dengan dakwaan pasal 351 ayat 1 yang melibatkan terdakwa UH dan pelapor MD. Keduanya adalah warga Desa Kedung Sukodani, Kecamatan Balong Bendo, Kabupaten Sidoarjo.

Dari pantauan Media Purna Polri, selama masa persidangan terdapat banyak kejanggalan. Seperti tidak adanya alat bukti berupa foto luka korban yang mendasari dikeluarkannya Visum et Repertum maupun bukti pemeriksaan gangguan kehamilan (USG).

Keterangan saksi dari pihak pelapor, Selasa (7/1/2020), juga tidak bisa menjelaskan bahwa terdakwa menendang (menganiaya) korban. Ketika di muka persidangan, kedua saksi mengaku bahwa mereka hanya melihat terdakwa dan korban bertengkar. Sedangkan kaki terdakwa menendang mengenai korban atau tidak, mereka menjawab tidak tahu.

Di tambah lagi, pada hari terakhir sidang pembuktian, Senin (20/1/2020). Setelah pihak kuasa hukum terdakwa menghadirkan saksi, Kamis (16/1/2020), pihak Jaksa mendatangkan saksi verbal lisan (penyidik). Kesaksian dari penyidik juga terdengar aneh, ketika mengatakan memanggil terdakwa yang saat itu masih tersangka melalui telepon seluler, tidak pernah menggunakan surat.

Tapi akhirnya penyidik mengakui pernah menggunakan surat pada waktu pemanggilan pertama,dan surat panggilan ini pun tidak sesuai dengan aturan hukum dan asas praduga tidak bersalah. Dimana penyidik dalam sidang tersebut memanggil dalam rangka penyelidikan, tapi sudah menetapkan yang bersangkutan sebagai tersangka.

Lebih aneh lagi, dari hasil pembuktian seperti itu, Jaksa Penuntut Umum (JPU) berani menuntut terdakwa dengan hukuman pidana selama satu tahun enam bulan. Namun dalam pembacaan tuntutannya, JPU tidak hadir di muka sidang. Pembacaan tuntutan disampaikan oleh rekannya,Padahal menurut pegawai Kejaksaan yang bertugas membawa tahanan, JPU hadir di pengadilan.

Hal ini tentu sangat merugikan pihak terdakwa dan juga instansi pendidikan, karena peristiwa hukum tersebut terjadi di lingkungan sekolah. Yaitu pada saat Rapat Paguyuban Orangtua Peserta Didik.

Padahal, sudah jelas bahwa pihak sekolah yang diwakili oleh walikelas anak dari kedua orang yang berseteru, mengatakan di muka persidangan bahwa kedua orang tersebut bertengkar yang dilatarbelakangi masalah anak.

“Dalam forum tersebut, terdakwa ingin mencontohkan perbuatan korban kepada anaknya. Terdakwa kemudian memegang lengan korban dan korban tidak terima. Kemudian terjadi pertengkaran yang akhirnya dilerai orang banyak,” ungkap walikelas itu di muka Majelis Hakim.

Dan semua upaya dari pihak sekolah maupun terdakwa dan keluarganya untuk menyelesaikan persoalan tersebut menemui jalan buntu. Karena pelapor atau korban tidak mau menemui pihak sekolah maupun terdakwa dan keluarganya, termasuk Kepala Desa setempat.

Dari hasil investigasi yang dilakukan Media Purna Polri, diketahui bahwa pihak pelapor memang orang yang bermasalah dengan lingkungannya. Bukan cuma satu atau dua anak yang pernah diperlakukan kasar oleh korban sehingga pelapor dan keluarganya sudah tidak dianggap warga oleh Rukun Tetangganya.

Sikap dan tindakan JPU dan Penyidik tersebut jelas-jelas sangat melukai rasa keadilan yang ada di tengah masyarakat. Karena mereka seolah ingin menunjukkan kekuasaannya. Bahwa mereka bisa menghukum siapa saja yang mereka mau.

Sampai berita ini diturunkan, pihak JPU masih belum bisa dihubungi. Sudah dua kali Media Purna Polri mendatangi kantor Kejaksaan Negeri Sidoarjo tapi selalu dibilang sudah pulang oleh petugas di front office. Padahal masih sekira pukul 15.00 WIB. (*)

sumber : mediapurnapolri

banner 336x280