Pakar Sebut Jokowi dan Ketua KPK Bisa Digugat Melawan Hukum Jika Tak Taati Rekomendasi Ombudsman

Nasional10745 Dilihat
banner 468x60

JAKARTA, lintasbarometer.com

banner 336x280

Praktisi Hukum Abdul Fickar Hadjar menyebut Presiden Joko Widodo atau Jokowi dan pimpinan Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK) bisa digugat secara perdata.

Gugatan tersebut bisa dilayangkan apabila melakukan tindakan melawan hukum karena tidak melaksanakan rekomendasi Ombudsman soal maladministrasi soal tes wawasan kebangsaan (TWK) KPK.

Sebab, kata Fickar, tindakan Presiden Jokowi dan pimpinan KPK apabila mengabaikan rekomendasi Ombudsman telah merugikan orang lain, dalam hal ini pegawai KPK.

“Bisa digunakan mekanisme hukum perdata dengan menggugat Presiden dan Ketua atau Pimpinan KPK karena telah melakukan perbuatan melawan hukum (PMH) secara pribadi telah merugikan orang lain, yaitu para pegawai KPK yang ditolak dengan tidak menjalankan rekomendasi Ombudsman,” kata Fickar saat dikonfirmasi pada Minggu (25/7/2021), dikutip dari Tribunnews.com.

Fickar menduga ada isyarat bahwa Presiden Jokowi dan pimpinan KPK tidak mau menaati rekomendasi yang telah disampaikan Ombudsman.

“Karena meski KPK sekarang termasuk rumpun eksekutif, tetap karena pola rekrutmen pimpinannya dengan mekanisme independen, presiden mungkin tidak berani untuk membatalkannya,” ucapnya.

Karena itu, Fickar mengatakan, pengadilan diminta untuk bersifat objektif untuk meminta Presiden Jokowi membatalkan hasil dari TWK KPK.

Dengan begitu, sebagai gantinya yakni melantik 75 pegawai KPK yang sebelumnya dinyatakan tidak lolos TWK tersebut.

“Pengadilan diminta untuk memerintahkan Presiden membatalkan TWK dan seluruh hasilnya dan memerintahkan KPK untuk mentaatinya,” ujarnya.

Tak hanya itu, pengadilan juga diminta untuk menyita harta pimpinan KPK sebagai jaminan jika tidak menaati rekomendasi Ombudsman.

“Agar putusan itu efektif, maka bisa minta pengadilan untuk menyita harta-harta pimpinan KPK sebagai jaminan atas kerugian para penggugat jika TWK tidak dibatalkan,” ujarnya.

Sebelumnya, Ombudsman RI memberikan tindakan korektif kepada pimpinan KPK dan Kepala Badan Kepegawaian Nasional (BKN) mengenai penonaktifan 75 pegawai KPK.

Tindakan korektif pertama, KPK harus memberikan penjelasan 75 pegawai KPK mengenai konsekuensi pelaksanaan TWK dan hasilnya dalam bentuk informasi atau dokumen yang sah.

Kedua, hasil TWK menjadi langkah perbaikan dan tidak serta merta dijadikan dasar untuk memberhentikan 75 pegawai KPK yang tidak memenuhi syarat.

Ombudsman menilai, terhadap pegawai KPK yang dinyatakan tidak memenuhi syarat, diberi kesempatan untuk melakukan perbaikan melalui pendidikan kedinasan tentang wawasan kebangsaan.

Ketiga, Ombudsman merekomendasikan agar 75 pegawai KPK yang tidak lolos tes wawasan kebangsaan dapat menjadi aparatur sipil negara (ASN) sebelum tanggal 30 Oktober 2021.

Pengalihan status 75 pegawai KPK yang tidak lolos TWK menjadi ASN ini berdasarkan hakikat atau makna di UU 19 Tahun 2019, PP 41 Tahun 2020, putusan Mahkamah Konstitusi serta pernyataan Presiden Joko Widodo.

Adapun tindakan korektif bagi Kepala BKN, yakni lembaga tersebut mesti menelaah aturan yang ada dan menyusun peta jalan terkait mekanisme instrumen dan penyiapan asesor terhadap peralihan status pegawai menjadi ASN.

Tujuannya, untuk perbaikan kebijakan administrasi kepegawaian di masa yang akan datang. Sebab, masih ada lembaga-lembaga yang punya pegawai tetap sendiri.

Ombudsman menyatakan tindakan korektif tersebut wajib dilaksanakan. Namun, jika hal yang telah disampaikan tidak dilaksanakan, maka saran perbaikan akan disampaikan kepada presiden. (Kompastv)

banner 336x280