KPK Sebut Ambil Alih Kasus dari Kejagung-Polri Tak Perlu Tunggu Perpres

Nasional14180 Dilihat
banner 468x60

JAKARTA, lintasbarometer.com

banner 336x280

Wakil Ketua Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Alexander Marwata menekankan bahwa pelaksanaan Pasal 10A Ayat (1) dan (2) tidak perlu menunggu Peraturan Presiden (Perpres). Pasal 10A Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 sendiri mengatur pengambil alihan kasus yang ditangani aparat penegak hukum lain oleh KPK.

“Pelaksanaan Pasal 10A Ayat (1) dan (2) tidak perlu menunggu penyusunan peraturan presiden lebih lanjut,” kata Alexander saat menggelar konpers di kantornya, Jalan Kuningan Persada, Jakarta Selatan, Jumat (4/9/2020).

Alex, sapaan akrab Alexander Marwata mengaku, KPK masih mempertimbangkan untuk mengambil alih kasus yang berkaitan Djoko Soegiarto Tjandra (Djoko Tjandra). Sebab, kasus itu saat ini masih fokus ditangani oleh Kejaksaan Agung (Kejagung) dan Polri.

“KPK akan melihat perkembangan penanganan perkara tersebut untuk kemudian mengambil sikap pengambilalihan apabila memenuhi syarat-syarat alasan sebagaimana diatur dalam Pasal 10A UU Nomor 19 Tahun 2019,” kata Ali.

Adapun, Pasal 10A Undang-Undang (UU) Nomor 19 Tahun 2019 tersebut berisikan :

(1) Dalam melaksanakan wewenang sebagaimana dimaksud dalam Pasal 10, Komisi Pemberantasan Korupsi berwenang mengambil alih penyidikan dan atau penuntutan terhadap pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sedang dilakukan oleh kepolisian atau Kejaksaan.

(2) Pengambilalihan penyidikan dan atau penuntutan sebagaimana dimaksud pada Ayat (1), dilakukan oleh Komisi Pemberantasan Korupsi dengan alasan:

a. Laporan masyarakat mengenai Tindak Pidana Korupsi tidak ditindaklanjuti;

b. Proses penanganan Tindak Pidana Korupsi tanpa ada penyelesaian atau tertunda tanpa alasan yang dapat dipertanggungiawabkan;

c. Penanganan Tindak Pidana Korupsi ditujukan untuk melindungi pelaku Tindak Pidana Korupsi yang sesungguhnya;

d. Penanganan Tindak Pidana Korupsi mengandung unsur Tindak Pidana Korupsi;

e. Hambatan penanganan Tindak Pidana Korupsi karena campur tangan dari pemegang kekuasaan eksekutif, yudikatif, atau legislatif; atau

f. Keadaan lain yang menurut pertimbangan kepolisian atau kejaksaan, penanganan tindak pidana korupsi sulit dilaksanakan secara baik dan dapat dipertanggungjawabkan.

 

 

 

 

 

sumber: Waspada

banner 336x280